Kalau bahasa Indonesia itu miskin seperti kata Cinta Laura Kiehl dan Indah Gunawan, tentu karya-karya Pramoedya Ananta Toer atau Chairil Anwar tidak akan dihargai sedemikian rupa oleh orang-orang, bahkan oleh mereka yang bukan orang Indonesia. Bagi saya pribadi, Cinta Laura Kiehl dan Indah Gunawan hanya kurang banyak membaca saja. Itulah permasalahannya, bukan bahasa Indonesia yang miskin kosakata, namun itu efek jarang membaca buku-buku sastra Indonesia.
Makin banyak Anda membaca literatur bagus berbahasa Indonesia, maka semakin lancar pula Anda dalam berbahasa Indonesia. Komunikasi Anda dengan menggunakan bahasa Indonesia akan mengalir seperti sungai jika Anda banyak membaca buku. Jadi, saya tidak menganggap obrolan Cinta dan Indah sebagai hal kontroversial. Bagaimanapun, saya pikir orang-orang terlalu menganggap mereka secara serius. Ada yang menyebut kalau mereka sedang menjelekkan simbol negara, yakni bahasa Indonesia. Respons demikian terlalu berlebihan, menurut saya. Mereka tidak sedang mencela bahasa Indonesia. Mereka hanya sedang menyatakan ketidakmampuan mereka menyampaikan pikiran dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, saya lebih sepakat dengan Ivan Lanin, “Yang miskin kosakata itu mungkin kita, bukan bahasa kita,”
Saya di sini lebih memandang bahasa sebagai kebutuhan dan praktik sehari-hari. Adalah bahasa sebagai alat komunikasi. Kalau bahasa Indonesia itu miskin kosakata, maka seharusnya saya sudah menderita dalam kehidupan sehari, kesulitan berkomunikasi. Tapi nyatanya tidak demikian. Dalam komunikasi sehari-hari, saya tak pernah menemukan kesulitan memilih kosakata semacam “mindfulness” atau “nuance” seperti yang dikemukakan Cinta dan Indah. Kosakata seperti demikian, saya pikir, biasanya hanya ada dalam pembicaraan-pembicaraan kaum elitis. Kosakata seperti itu sama sekali tidak ada di ruang-ruang warteg atau sopir truk, misal. Lagi pula, obrolan macam apa ketika Anda membeli beras ke grosir sehingga memaksa Anda mencari istilah tepat semacam “mindfulness” atau “nuance”?
Bagi saya, penderitaan Cinta dan Indah akibat “bahasa Indonesia yang miskin kosakata” hanya berlaku dalam diskusi-diskusi intelektual atau ruang akademis. Dalam diskursus filsafat, misal, ada istilah-istilah yang memang tak mungkin mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah seperti das sein, das sollen, ding an sich, edifying, dll., dalam filsafat memang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Anda hanya bisa memahaminya dengan mengikuti penalaran Immanuel Kant, atau Martin Heidegger, atau Richard Rorty. Dan pertanyaannya, tentu, apakah hanya karena bahasa Indonesia tidak memiliki istilah yang tepat seperti, misal, wabi sabi atau ikigai, maka ia dapat dikatakan miskin? Itu sama seperti mengatakan kalau si Budi itu miskin karena tidak mempunyai mobil seperti si Udin. Barangkali si Budi memang tidak memiliki mobil, namun menganggapnya miskin adalah hal yang ceroboh. Dalam kehidupan nyata, orang yang memiliki mobil belum tentu lebih kaya daripada orang yang tidak memiliki mobil. Si Udin yang memiliki mobil bukanlah penanda kalau dirinya lebih baik daripada si Budi yang tidak memiliki mobil. Begitu juga dengan bahasa Indonesia dan Inggris.
Memang ada benarnya ketika Cinta mengatakan kalau intelektual kita memang banyak menggunakan istilah asing dalam mengemukakan pemikirannya, tapi itu tidak serta-merta membuat mereka mengatakan kalau bahasa Indonesia itu miskin. Bahkan, saya pikir, kaum intelektual Indonesia juga sebenarnya tetap mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi, kalau memang mereka menyebut istilah asing, itu berarti memang tidak memungkinkan dalam bahasa Indonesia. Cukup sampai di situ dan tidak beranjak pada kesimpulan kalau bahasa Indonesia itu miskin.
Menurut saya, perbandingan yang diberikan Cinta dan Indah terkait bahasa Indonesia dan Inggris tidaklah relevan. Mereka menjadikan perbandingan sebagai tolok ukur kemiskinan bahasa. Parameternya tidak relevan. Tentu saja keberatan saya ini terletak pada “membanding-bandingkan”. Bagi saya, pohon toge ya pohon toge; dan pohon beringin ya pohon beringin. Pohon beringin tentu lebih besar daripada pohon toge, tapi apakah itu membuatnya lebih baik? Apakah hanya karena pohon toge tidak sebesar dan serimbun pohon beringin, itu membuatnya miskin? Barangkali mental Cinta dan Indah itu serupa kebiasaan orang tua yang membandingkan anaknya sendiri dengan anak orang lain. Memangnya rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput di halaman rumah kita sendiri?
Di samping itu, dengan logika yang sama, kita sebenarnya bisa membantah Cinta dan Indah. Saya pikir, banyak pula kosakata bahasa Indonesia yang sulit diterjemahkan sehingga mampu menangkap maknanya secara penuh dalam bahasa Inggris. Orang Indonesia mempunyai kosakata “sakti” sementara penutur bahasa Inggris mengucapkan “superhuman” untuk melabeli tokoh-tokoh pewayangan seperti Pandawa dan Kurawa. Jadi, kata “sakti” lebih mewakili secara penuh dalam menggambarkan sosok Isaac Netero ketimbang hanya menyebutnya sebagai “tokoh kuat”. Kosakata “sakti” tentunya lebih kaya dari “kuat” karena ia mencakup banyak hal seperti kematangan fisik dan spiritual. Bagaimanapun, orang sakti mandraguna sudah pasti kuat, namun orang kuat belum tentu demikian. Monkey D. Luffy adalah contoh karakter sakti sementara Rob Lucci adalah karakter kuat. Mereka sama-sama kuat, tapi siapakah yang menang dalam duel ulang mereka berdua di Pulau Egghead?
Tentunya, masih banyak lagi contoh untuk menyatakan bahwa kosakata bahasa Indonesia sebenarnya tidak miskin, bahkan sebenarnya bisa lebih kaya ketimbang bahasa lain, itu pun kalau kita mau membanding-bandingkan. Tapi, perbandingan seperti itu, saya pikir, tidak perlu. Bahasa Indonesia ya bahasa Indonesia; bahasa Inggris ya bahasa Inggris. Keduanya merupakan entitas yang berdiri sendiri, unik, dan punya ruhnya sendiri. Dan itu tidak berarti kalau yang satu lebih baik dari yang lain. Yang pasti, keduanya sama-sama mempunyai kegunaan yang sama, yakni alat komunikasi. Kalau memang ada hal yang perlu diucapkan dengan kosakata bahasa Inggris sebab tidak memungkinkan dalam pembendaharaan kosakata bahasa Indonesia, ya tinggal diucapkan saja. Itu tidak perlu harus sampai pada kesimpulan kosakata bahasa Indonesia itu miskin.
Tidak, bahasa Indonesia itu sama sekali tidak miskin. Cinta dan Indah hanya kurang banyak belajar. Tidak ada jalan lain. Kalau memang Anda kesulitan menyampaikan pikiran dalam bahasa Indonesia, ya belajar! Bagaimana? Perbanyaklah membaca buku berbahasa Indonesia atau karya-karya bagus sastra Indonesia; dan bahkan perbanyaklah kongko dengan orang-orang Indonesia asli yang jelas Anda temukan di pinggiran, gorong-gorong, dan jalanan; perbanyaklah memahami pola pikir mereka; lihatlah bagaimana cara mereka berbicara; cara mereka bercerita; cara mereka menyampaikan pikiran. Meminjam istilah pemikiran Noam Chomsky, Anda tidak akan bisa menyampaikan pikiran dan perasaan dalam bahasa Indonesia jika Anda tidak memahami “struktur dalam” dan “struktur luar” orang-orang Indonesia. Itu pun kalau memang Anda berkenan dan tidak ada paksaan. Silakan saja kalau memang Anda memilih bertahan dalam pola pikir atau gramatika Eropa, namun jangan terlalu percaya diri sehingga Anda berani mengatakan kalau bahasa Indonesia itu miskin. Jangan lupakan peribahasa: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi. Jadi, kalau Anda berbelit-belit, ya Anda memang berbelit-belit. Alangkah lebih baik kalau Anda menerangkan secara baik-baik kepada mereka "because that’s how we talk in English," ketimbang serampangan menyebut bahasa Indonesia itu miskin. Saya pikir, orang-orang tidak seegois dan semalas seperti yang Indah kira kalau ia mau menerangkannya dengan kepala dingin. Jadi, Indah dan Cinta, perbanyaklah belajar. Jangan tersinggung kalau kalian dinilai berbelit-belit.
Percayalah, dalam sejarahnya, kita bukan hanya mampu berkomunikasi, namun kita mampu menciptakan keajaiban dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidaklah miskin, justru merupakan bahasa yang sakti, lho. Hal ini sudah diakui oleh para pakar bahasa, bahkan dari luar. James Sneddon dalam bukunya berjudul The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society menyebut bahwa bahasa Indonesia merupakan sebuah "keajaiban". Lebih lanjut, James menyebut bahwa bahasa Indonesia merupakan "salah satu kekuatan penyatuan utama.... dalam membentuk budaya Indonesia modern," Para pejuang Indonesia di zaman kemerdekaan pada saat itu melihat bahasa Indonesia sebagai alat yang kuat "untuk memungkinkan komunikasi di seluruh negeri hingga masa depan," Dengan bahasa Indonesia pula para Bapak Pendiri Bangsa ini melawan penjajahan.
Sebagian besar abad ke-20, tantangan terbesar bagi bahasa Indonesia adalah menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional yang sepenuhnya berkembang mampu mengatasi semua tuntutan kehidupan modern. Selama abad tersebut, bahasa ini mengalami perubahan besar, termasuk elaborasi sintaksis yang signifikan dan perluasan leksikon yang jauh lebih besar, sehingga memiliki kemampuan ekspresi yang terus meningkat. Selama masa pemerintahan Suharto (1966–98), pemerintah memandang standarisasi dan modernisasi bahasa sebagai hal yang penting bagi program pembangunan ekonominya. Dan terlepas dari kritiknya, selama masa pemerintahan Suharto (1966–98), pemerintah memandang standarisasi dan modernisasi bahasa sebagai hal yang penting bagi program pembangunan ekonominya.
Bahasa Indonesia telah melewati perjalanan panjang dan penuh perubahan selama abad ke-20. Dari sebuah bahasa pasar yang digunakan oleh sebagian kecil penduduk, bahasa ini telah berkembang menjadi bahasa nasional yang penting dan kuat. Proses ini tidaklah mudah, tetapi melalui usaha keras dan tak kenal lelah, bahasa Indonesia berhasil menjadi salah satu aset terbesar bagi bangsa Indonesia.
Dan itu bukan kisah fiktif. Itu nyata dan sudah tercatat dalam sejarah bahwa bahasa Indonesia berperan besar dalam menciptakan keajaiban. Maka dari itu bahasa Indonesia diberi status sebagai simbol negara. Jadi, bahasa Indonesia ini mempunyai nilai historis yang bisa bikin bulu kuduk berdiri. Kaya sekali nilai di samping kebergunaan sebagai alat komunikasi. Bagaimana tidak, di samping sebagai alat komunikasi, bahasa Indonesia juga berpotensi besar menjadi alat yang sangat kuat dan bertenaga dalam membentuk realitas. Begitulah faktanya. Jadi, bagaimana bisa kalau bahasa Indonesia itu miskin?