Investigasi Linguistik Kata "POLONGO"
Jika orang Jawa, Jawa Tengah atau Jawa Timur, punya kata “jancuk” dan “asu“, maka orang Banten punya kata “polongo“. Jika orang Jawa berkata, “Dasar pejabat jancuk!” ketika si pejabat itu korupsi, maka orang Sunda Banten pun akan berkata, “Heh éta pejabat polongo jasa!” ketika bansos dikorupsi. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kata “polongo” itu selalu bertaut dengan sarkasme. Akan tetapi, sebagaimana kata “jancuk“, kata “polongo” juga tak melulu digunakan untuk menyakiti hati si pendengarnya. Ia juga bisa merupakan tanda kedekatan si pengujar dan si pendengar.
“Polongo“: Cakupan Wilayah
Jika kata “polongo” dianggap sebagai kata kasar, ia lebih dahsyat ketimbang kata “anjing”, “goblok”, “bego”, dsb. Kata “polongo” itu mencakup “bego”, “bodoh”, “idiot, “tolol”, “goblok”, “dungu”, dst. Dengan begitu, kata “polongo” adalah diksi yang tepat jika kau ingin mencaci maki seseorang, koruptor misalnya. Hemat, padat, dan punya daya ejekan yang luar biasa. Namun, ia tak melulu menyakitkan perasaan. Sebab, sebagaimana kata “jancuk“, ia juga digunakan dalam berbagai macam konteks sehingga responsnya pun berbeda-beda: bisa menjadi kata yang mengakrabkan.
Saya tidak yakin apakah semua orang Banten dapat memahami dan mengujarkan kata “polongo“. Tapi kita bisa mendengarkan kata itu diucapkan oleh penduduk asli di Kabupaten Tangerang, kemudian Rangkas, sampai Cipanas. Tapi tidak di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Sebab, sepanjang saya amati, orang-orang di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan itu menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, secara dialek dan aksen, bahasa sehari-hari orang-orang di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan itu lebih dekat ke bahasa Indonesia Betawi.
Kau bisa mengetahui bahasa Sunda Banten dimulai dari, setidaknya menurut saya, Cikupa, Balaraja, dan Tigaraksa. Dan akan lebih kentara lagi kau bisa dengarkan bahasa Sunda Banten di Banten bagian barat daya, dari Rangkasbitung sampai Jasinga sampai Cipanas. Tentu, bahasa Sunda Banten itu berbeda dengan, misalnya, bahasa Sunda Bandung, Sunda Majalengka, atau Sunda Garut. Yang membedakan Sunda Banten dan Sunda lainnya, menurut saya, terletak sangat jelas dari aksennya. Tentunya, orang Sunda Banten pun punya kosakata untuk mengumpat yang berbeda dari orang-orang di wilayah Sunda lainnya. Ya, kata “polongo” adalah buktinya. Saya yakin bahwa penutur bahasa Sunda di Bandung, atau di Majalengka, atau di Tasikmalaya, tidak mengetahui kata “polongo“. Dengan begitu, saya berani mengatakan, “You’re a native Sundanese Banten speaker if you speak “polongo” or mention it in your tweets or Instagram captions.”
“Polongo“: Anatomi Kata
Sebagai kata yang berdiri sendiri, kata “polongo” merupakan kelas kata sifat (adjective). Secara morfologi, ia sebenarnya dibentuk dari kata benda, yaitu “polo“. Dalam bahasa Indonesia, kata “polo” bisa diterjemahkan sebagai “otak”. Saya memahami “polo” sebagai “otak” berdasarkan pengamatan saya ketika mendengar orang-orang Banten marah-marah. Ujaran-ujaran seperti “Ai sia teu gableg polo?”, “Doang teu gableg polo bae, dia!”, “Pan sia téh gableg polo!”, mengisyaratkan bahwa kata “polo” di situ adalah “otak”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ujaran pertama itu akan menjadi: “Lu punya otak, ‘kan?”. Sedangkan ujaran-ujaran selanjutnya akan menjadi: “Lu itu punya otak, ‘kan? Dipake, dong!”.
Masih dalam tataran morfologi. Kata “polongo” itu setara dengan “brainless“. Imbuhan “-ngo” dan “-less” di situ termasuk dalam kategori derivational suffix. Derivational suffix merupakan imbuhan huruf di akhiran kata yang berfungsi untuk mengubah kata benda menjadi kata sifat. Akan tetapi, imbuhan “-ngo” di situ merupakan derivational suffix yang bersifat khusus dalam bahasa Sunda Banten. Ia tidak seperti “-less” yang merupakan imbuhan tetap dan resmi yang bisa dilekatkan kepada kata benda berbahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, ujaran seperti “tak berkabel”, misalnya, maka imbuhan “-less” akan relevan sehingga menjadi “wireless“.
Ketetapan imbuhan “-less” bisa kita lihat dalam kata-kata berbahasa Inggris lainnya seperti “hopeless“, “homeless“, “useless“, “braless“, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, imbuhan “-ngo” tidak punya ketetapan seperti demikian: Ia bersifat khusus hanya untuk kata “polo” saja. Ia tidak bisa dilekatkan kepada kata benda lainnya. Misal, imbuhan “-less” yang melekat di akhiran kata “home” itu dapat diterima. Namun, imbuhan “-ngo” tidak berterima (acceptable) jika dilekatkan di akhiran kata “imah” (rumah). Dengan begitu, ia tak bisa menjadi “imahngo“. Penutur asli bahasa Sunda tidak akan memahami apa itu “imahngo“. That is super awkward. Sebab itulah saya katakan bahwa imbuhan “-ngo” itu bersifat tidak tetap atau tidak resmi.
“Polongo“: Dimensi-dimensi Makna
Dalam tataran semantik, kata “polongo” itu artinya bukan sekadar “tak berotak” (brainless). “Polongo” punya makna yang lebih dahsyat ketimbang “brainless“. Dalam konteks yang serius, jika orang Banten berkata kepada kita, “Polongo, dia!” (catatan: orang Banten menggunakan kata “dia” sebagai kata ganti orang kedua tunggal, artinya “kamu”, “Anda”, atau “kau”), maka dari itu, artinya, menurut mereka, keadaan atau kondisi kesehatan mental atau kesadaran kita benar-benar mengkhawatirkan. Kau membutuhkan mental yang kuat untuk dapat menerima bahwa kau itu polongo.
Kata “polongo” memang bernuansa sarkas. Namun dalam beberapa konteks penggunaannya, ia bisa menjadi kata perekat kedekatan. Ia juga mempunyai banyak dimensi makna sebagaimana halnya kata “jancuk” atau “asu“. Fenomena yang menandakan banyaknya dimensi makna kata “jancuk” atau “asu” bisa kita lihat dalam perkataan-perkataan Sudjiwo Tedjo atau Cak Nun: Para pendengar justru tertawa-tawa senang dan bahagia ketika mendengar kata “jancuk” atau “asu“. Artinya, kata-kata yang dianggap kasar, alih-alih menyakiti perasaan, justru bisa juga membahagiakan, menggembirakan, dan menghangatkan. Begitu juga dengan kata “polongo“.
Di satu sisi, kata “polongo” bisa menjadi sesuatu yang lucu, entah itu ketika ia diucapkan sebagai kata yang berdiri sendiri maupun dalam bangunan kalimat sarkas. Saya senang ketika mendengar bagaimana kata itu diucapkan oleh si penutur asli. Ia mempunyai cara ucap (pronunciation) yang sangat khas. Ada perkataan dari penutur asli Sunda Banten yang ditujukan kepada saya sehingga membuat saya ngakak ketika mendengarnya: “Dih geus tilu poé pan dia mah teu mandi-mandi, polongo jasa.” (Heh, lu udah tiga hari kagak mandi, bego.) Alih-alih menyuruh saya agar segera mandi, dia malah mendapati saya tertawa-tawa. Dia heran dan kembali berkata, “Dih polongo sugan mah malah seseurian.” (Lha, kok malah tertawa, dasar gila!). Saya makin ngakak ketika mendengarnya. Saya tertawa bukan karena makna perkataan yang dia ucapkan, melainkan karena bagaimana cara dia mengucapkan perkataannya. Sangat menyenangkan, hahaha.
Saya menyebut aksen bahasa Sunda Banten itu sebagai “aksen ubur-ubur”. Naik-turun, ada intonasi, berirama, dan bermelodi. Itu semua memberikan efek yang lucu sehingga saya pun terkadang lupa bahwa apa yang mereka ucapkan itu sebenarnya merupakan sarkas. Sebagai orang yang bukan penutur asli bahasa Sunda Banten, saya sempat mencoba meniru bagaimana kata “polongo” diucapkan sebagaimana para penutur asli mengucapkannya. Ketika saya coba menirukannya, kau tahu apa kata mereka? “Heh, dia, orang Bandung, teu mantes ‘popolongoan’ mah. Ja aneh kadéngena ogé.” (Kamu, orang Bandung, nggak pantes bilang ‘popolongoan‘, kedengarannya aneh.) Ya, mau bagaimana lagi, saya tak dilahirkan dan dibesarkan lewat aksen ubur-ubur seperti mereka.
Bagaimanapun, perihal aksen ini, saya kira, bisa menjadi konten yang menarik, konten YouTube misalnya. Sayangnya, kita amat gandrung, kalau bukan gagap, terhadap “how to speak British or Aussie or American accent“, bukan? Padahal, aksen bahasa-bahasa daerah juga sebenarnya menarik untuk dibicarakan, belum lagi bahasa Indonesia itu sendiri yang di pelbagai daerah punya aksen yang berbeda-beda.
Kembali ke laptop. Investigasi saya terhadap kata “polongo” itu adalah pengamatan subjektif saya. Dalam cakupan wilayah, saya bisa keliru dengan mengingat bahwa saya tidak pernah mengunjungi seluruh wilayah Banten. Dari aspek anatomi, imbuhan “-ngo” itu sendiri sebenarnya patut dipertanyakan: Kenapa ia bersifat tetap atau tidak resmi? Kenapa ia hanya bisa dilekatkan kepada kata “polo“? Apakah “-ngo” di situ merupakan morfem? Jika ya, apakah ia morfem bebas atau terikat? Lalu, kenapa ia harus derivational suffix? Kenapa ia tidak prefiks? Dengan ini saya bermaksud bahwa investigasi kata “polongo” ini belumlah tuntas.