Kalimat Pertama: Keasyikan dalam Membaca
“Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal.” Begitu kata tokoh utama bernama Sirajatunda dalam cerpen karya Nukila Amal berjudul Sirajatunda. Saya pikir, Sirajatunda sangat mewakili permasalahan para penulis dalam membikin karya.
Kita diberi tahu bahwa ia, Sirajatunda, sudah “delapan tahun lamanya” mengumpulkan materi dan referensi sebagai bahan untuk membuat tulisan “yang pasti bakal epik”. Namun, hingga akhir cerita, kita lihat justru Sirajatunda hanya bengong di depan laptop, Microsoft Word tetap saja putih. Di sepanjang cerita, kita akan lihat betapa ia sangat gelagapan di tengah pergulatan dengan bagaimana cara menulis kalimat pertama.
Kalimat pertama adalah hal yang tidak hanya sangat penting bagi penulis, tetapi juga bagi para pembaca. Kalimat pertama menjadi hal yang sangat menentukan bagi saya apakah saya akan membaca (puisi, cerpen, novel, atau esai) atau tidak dari seseorang. Sampai sekarang, tidak banyak bacaan yang bisa saya baca sampai habis. Hanya beberapa puisi, cerpen, dan novel yang bisa saya baca hingga bait akhirnya atau ujung halamannya, yang masih terngiang-ngiang di kepala hingga sekarang. Namun dari beberapa bacaan itu saya bisa mendapatkan keasyikan membaca, pengalaman estetis, dan refleksi yang tiada habis.
Jadi, saya mempunyai standar bahwa saya akan membaca buku sampai habis—tidak peduli seberapa tebal halamannya—jika kalimat pertama dalam bacaan itu punya daya yang provokatif, yang menarik, yang menggiring saya pada lamunan-lamunan, dan yang diam-diam melempar pertanyaan. Ini adalah tentang kegairahan membaca, suatu kegairahan yang dipicu oleh energi magis dari kalimat pertama dalam, katakanlah, karya sastra.
Kalimat pertama menjadi sangat provokatif jika ia seakan-akan secara sengaja membenturkan dirinya dengan pengetahuan yang saya ketahui, yang mapan saya pegang hingga sekarang. Ia seolah-olah ada secara sengaja untuk menjungkirbalikkan sistem epistemik dalam basis hidup sehari-hari.
Penyair besar Indonesia, Subagio Sastrowardoyo, dalam salah satu puisinya berjudul “Kata” menulis:
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Ada yang janggal dalam kalimat pertama dari sajak SS itu. Kalimat pertama itu, sekalipun dibaca dari segala arah dan sekalipun dibaca secara cepat atau dekat, tetap saja mengganggu pikiran. Ia mengusik.
Dalam logika, sesuatu yang kita jadikan pegangan dalam menetapkan pengetahuan yang sah, semuanya berangkat dari benda (things) atau peristiwa (events). Dari benda itu kemudian lahir ide, sebelum pada akhirnya adalah kata. Namun, kalimat pertama sajak SS itu justru sebaliknya: Kata mendahului benda dan ide.
Kemudian, pada bait kedua itu kita bisa katakan bahwa SS tidak sedang main-main. SS memang sengaja dan secara sadar berniat menebar provokasi pada pemikiran para pembaca sajaknya itu: “Jagat tersusun dari kata“.
Dalam fisika, kita diberi tahu bahwa jagat itu terbuat dari tiga partikel, yakni elektron, up quark, dan down quark. Dengan up dan down quark itu kemudian hadir proton dan neutron; dan dengan proton dan neutron itu kemudian hadir atom. Semua partikel itu lantas menjadi bahan dasar bagi segala materi, yang membentuk jagat, yang bisa dipegang, cium, sentuh, dan rasakan, yang membentuk kerikil, meja, gedung, bumi, planet-planet, bintang-bintang, tata surya, galaksi, saya, Anda, dan kita semua.
Bagaimana bisa “Asal mula adalah kata/Jagat tersusun dari kata“? Dua bait sajak SS itu lantas memaksa saya untuk mempertanyakan, jagat yang mana? Saya ragu bahwa jagat yang SS sebutkan itu seperti jagat yang ada dalam pikiran saya.
Tapi, saya pikir kembali bahwa SS mungkin tidak sedang membicarakan status ontologis alam semesta yang sangat luas ini. Saya pikir, sajak SS ini tidak sedang berusaha membatalkan pengetahuan mapan, namun ia mengundang untuk memikirkan kembali pengetahuan mapan tersebut.
Tapi dengan cara seperti itu puisi menjadi hal yang sangat menyenangkan. Ia ditulis dengan cara sederhana dalam tataran linguistik, namun begitu padat “maksud” yang tak mudah “ditangkap”. Sajak SS itu, misalnya, tidak terlalu mengedepankan bentuk. Di awal puisi, kita mendapatkan bait yang to the point, tanpa pengayaan sintaksis dengan bangunan perangkat puitis yang meriah, nyaris merupakan semacam proposisi sederhana.
Namun, dengan itu pula ia tidak hendak “to inform something“, yang terasa justru ia hendak “menggelembungkan” pengetahuan: “Apa” dan “kenapa” saling berkejaran. Dan tentu, saya pikir, ini adalah persoalan teknik. SS memakai logika sebagai gaya ucap dalam persajakan.
Dengan begitu, kita kembali ke persoalan teknik dalam menulis. Dalam kalimat pertama, teknik menjadi hal yang sangat penting apakah seseorang akan terus membaca sebuah tulisan atau tidak.
Dalam hal ini, perhatian saya tertuju pada Franz Kafka. Bagi saya, karya-karya Kafka tidak hanya memberikan isi yang menarik, namun juga menarik dari segi teknik bercerita. Dalam karyanya berjudul Die Verwandlung (diterjemahkan menjadi Metamorfosis ke dalam bahasa Indonesia), Kafka membikin kalimat pertama yang sangat menarik untuk membuka cerita:
“Ketika Gregor Samsa terbangun pada suatu pagi karena mimpi-mimpi yang gamang, dia mendapati dirinya telah bertransformasi menjadi semacam hama raksasa.”
Kalimat pertama Kafka ini, bagi saya, sangat menarik. Dalam strategi menulis prosa, biasanya prolog merupakan gambaran umum dari pengenalan tokoh atau latar belakang peristiwa atau situasi deskriptif bagi pembaca untuk memulai petualangan membaca. Tentu saja, tidak ada masalah dengan itu, dan tidak perlu juga dipermasalahkan. Toh, masih banyak cerita menarik yang dimulai dengan kalimat pertama “Once upon a time…“
Namun, orisinalitas kalimat pertama karya Kafka itu membuat pengalaman membaca menjadi segar, lebih menyenangkan, dan menggairahkan. Alih-alih menemui keadaan suatu peristiwa, langit mendung atau senja menukik misalnya, saya justru justru tersentak oleh keadaan konflik cerita yang dengan sengaja disimpan di dalam kalimat pertama. Jujur saja, sampai sekarang saya belum membaca sampai habis novela Kafka yang satu ini. Kalimat pertama itu masih menjebak saya pada lamunan-lamunan “how does it feel to be Gregor Samsa?“
Kalimat pertama Kafka itu begitu dekat dengan kebiasaan saya yang sangat senang tidur. Ulah Kafka itu jadi membuat saya selalu membayangkan ketika bangun dari tidur, bagaimana pada saat saya bangun dari tidur kemudian mencuci muka tanpa menemui dulu kaca, lalu kemudian saya pergi ke warung untuk membeli rokok, dan kemudian si penjaga warung itu berteriak, “Hama raksasa!” Lalu, si penjaga warung itu pingsan. Kemudian, saya menatap cermin warung dan mendapati diri saya telah menjadi seperti Gregor Samsa? Bagaimana misalnya ketika saya …. Ah, sudahlah.
Yang pasti, Kafka membuat pengembaraan membaca menjadi lebih intim, imajinasi jadi makin deras tidak dapat terkuras habis. Dan saya pikir, itulah salah satu ciri khas yang menjadikan Kafka Kafkaesque. Dia adalah salah satu dari senarai penulis yang mempunyai ciri khas dalam bagaimana menulis kalimat pertama yang mengesankan.
Dalam karya Kafka yang lain, misalnya, berjudul Der Prozess (diterjemahkan menjadi Proses ke dalam bahasa Indonesia), kita akan kembali melihat bagaimana cara Kafka menganyam kalimat pertama menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menggairahkan.
“Seseorang pasti telah memfitnah Josef K, sebab pada suatu pagi ia ditangkap tanpa pernah melakukan kejahatan.”
Belum sudah saya membayangkan Gregor Samsa, kini saya menemui keadaan yang janggal, bahkan sangat janggal, dari tokoh utama bernama Josef K: tak kalah membingungkan dan tak kalah menyegarkan keasyikan membaca. Sebagaimana Metamorfosis, Kafka kembali menaruh konflik yang mendahului premis cerita dalam kalimat pertama.
Jika dalam Metamorfosis kita menemukan Gregor Samsa yang menemukan dirinya menjadi semacam serangga raksasa ketika bangun tidur di pagi hari sebelum dia sempat menggosok gigi dan ongkang-ongkang main gawai dan scrolling beranda Instagram seraya menikmati segelas kopi dan sebatang rokok, maka dalam Proses kita menemukan Josef K yang tiba-tiba diborgol dan dibawa ke pengadilan atas kejahatan yang dalam tuturan si narator “tanpa pernah melakukan kejahatan”. Saya hanya hanya berpikir, “Here you go again, Kafka!“
Bagaimana tidak, Kafka kembali menantang pembaca untuk mulai menetapkan suatu pembacaan lewat kalimat pertamanya itu. Siapa orang yang “pasti” telah memfitnah Josef K? Fitnah seperti apa sehingga Josef K ditangkap? Dan kemudian, kenapa Kafka tidak menyertakan nama si pemeran utama secara tidak lengkap, “K”? Dan ingat, di sini kita tidak hanya berusaha menebak konflik Josef K itu, justru di sini kita sedang bermain-main dengan si narator itu sendiri. “Ia adalah bahasa yang berbicara,” kata si pencetus pemikiran “Kematian Pengarang”, Roland Barthes. Jadi, kita menaruh Kafka dalam tanda kurung dan mulai “menggelar kartu” dengan sesuatu yang disebut sebagai narator.
Secara etimologi, narator berasal dari “to narrate“, atau “narrāre“, yang artinya seorang penutur atau pengujar (the speaker) yang merupakan gnārus—seorang yang mengetahui (a knowing one). Dan gnārus berasal dari kata gnōscere, gignōskein, “to know“, atas situasi komunikatif: semacam otoritas atau seorang yang mempunyai wewenang menuturkan apa yang ia ketahui. Dengan ini kita melihat bahwa novel Proses karya Kafka ini tidak hanya menantang sejak kalimat pertama, namun juga sejak kata pertama yang disebutkan. “Seseorang” adalah kehadiran naratif yang menandai kemangkiran epistemologis (an epistemological absence). Si narator “mengetahui” pastilah seseorang “telah memfitnah Josef K”.
Namun sampai di situ kita jadi menerka-nerka apakah sebenarnya si narator itu mengetahui siapa sebenarnya “seseorang yang memfitnah Josef K” atau tidak? Ada informasi, memang. Namun, itu tidak utuh. Sebab jika memang si narator itu mengetahuinya, toh ia secara tidak langsung tidak memberitahunya. Bagi saya, “seseorang” dalam kalimat pertama itu lebih menarik perhatian ketimbang “ia ditangkap tanpa pernah melakukan kejahatan”. Si narator pun diam-diam terlihat dalam cerita dan mendesak pembaca untuk terlibat secara aktif dalam kisah. Dan kita tentu kembali pada persoalan teknik, yang dalam hal ini, dimainkan oleh Kafka dalam menganyam kalimat pertama cerita. Kalimat pertama yang “bermasalah”, bukan dalam arti masalah yang mesti dipecahkan, namun seperti suatu kegalauan yang diam-diam sebenarnya saya nikmati. Tidak seperti novel Madame Bovary, si narator tidak pelit dalam memberitahukan “apa yang ia ketahui” sehingga pembaca bisa memadukan detail-detail penjelasan si narator menjadi hal yang utuh dalam pikiran. Akan tetapi, karya-karya Kafka justru lebih seperti cermin tua yang pecah dan kepingan-kepingannya berserakan.
Tapi justru kita jadi berhati-hati di depan beling, bukan? Begitu juga dengan Kafka. Saya pikir, Metamorfosis atau Proses merupakan kepingan-kepingan pikiran Kafka. Teknik menganyam tulisan seperti itu membuat kegiatan membaca menjadi menduga, menebak, dan pada akhirnya, meminjam analogi Roland Barthes dan pemikiran Nietzsche, seperti mengiris bawang: setiap irisan hanyalah kulit; tidak ada daging; tidak ada isi; kedalaman adalah permukaan.
Berangkat dari itulah kenapa saya bukan pengagum “makna yang mendalam”. Saya pengagum “makna yang terus menggelembung, meluas, melebar ke segala arah, ke kiri, kanan, atas, bawah, dan pada akhirnya melayang-layang”. Teknik dan bentuk dalam kalimat pertama sangat menentukan atas itu semua, bagi saya.
Dalam puisi “Kata”, SS menggunakan teknik logika sebagai cara untuk menyiram pengetahuan pembaca. Sementara itu Kafka mengoperasikan suatu teknik yang memungkinkan bagi pembaca dan teks untuk terlibat dalam percakapan. Teknik ada untuk meredam ekspresi ke-aku-an yang kedodoran dalam menulis puisi.
Saya ingat T. S. Eliot mengenai pemikirannya tentang “impersonalitas” dalam perpuisian. Alih-alih mengekspresikan diri dalam puisi, justru penyair yang baik (tentu menurut T. S. Eliot) akan berpuisi sebagai pelarian dari diri. Pemikiran T. S. Eliot merupakan tanggapan, kalau bukan kecaman, terhadap ramuan berkarya ala Romantisisme, yang digaungkan Wordsworth dan Coleridge: “spontaneous overflow of powerful feelings“.
Menurut T. S. Eliot, puisi bukanlah “penyambung lidah” sang penyair. Puisi adalah suatu aksi pelarian diri sebab puisi sebagai “kepanjangan tangan” suasana hati si penyair hanya akan “menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah” sehingga menjadi “bukan sajak yang cukup berarti”, meminjam perkataan penyair Subagio Sastrowardoyo.
Saya melihat bahwa gairah berkarya di dinding-dinding media sosial sangat didominasi oleh semangat yang nyaris Romantisisme: suatu pergerakan dalam seni yang menekankan perasaan intim, intuisi, imajinasi, dan emosi. Saya mengamati bahwa tulisan-tulisan pendek yang bertebaran di Instagram, misalnya, memenuhi ciri khas paling utama dari Romantisisme, yakni penekanan pada perasaan spontan untuk mengekspresikan pengalaman personal. Akun-akun yang menamakan dirinya sebagai “Puisi Senja”, “Kopi Kenangan”, “Pena Pemimpi”, “Sajak Rindu”, “Gerimis Sendu”, lainnya dan sejenisnya, mengekspresikan pengalaman yang sangat personal dari si penulisnya.
Nyaris Romantisisme…. Bukan, bukan nyaris, namun sastra siber adalah Romantisisme yang sangat kasar. Si “aku” dalam sastra siber itu pengap, ke-aku-an yang meruah dan akut. Kembali meminjam perkataan Subagio Sastrowardoyo, sastra siber merupakan tulisan dari seseorang “yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri” tanpa “mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas”. Segalanya adalah tentang “aku”, dunia yang diukur oleh “aku”, “aku” liris yang sangat telanjang. Sangat kasar, setidaknya bagi saya sebagai pembaca.
Saya kerap mengajukan pertanyaan kepada diri saya sendiri, kenapa saya masih mau membaca Don Quijote namun tidak pernah betah membaca tulisan-tulisan akun yang menyebut dirinya “puisi” di media sosial? Teknik, jawabannya. Sastra siber sangat dijejali prinsip menulis “spontaneous overflow of powerful feelings” ketimbang “an escape from personality“. Sedari dulu, setidaknya dalam pengamatan saya, selalu begitu: tidak menciptakan pengalaman membaca yang “menggelembungkan pengetahuan; tidak membuat kegiatan membaca melayang-layang di antara bumi dan langit”. Setidaknya, sastra siber itu tidak, kalau bukan tidak pernah, membuat saya secara tidak sadar mengernyitkan dahi.
Dalam salah satu puisi Goenawan Mohamad berjudul “Dingin Tak Tercatat”, saya merasa bahwa semenjak kalimat pertama “words are to do something” membuat saya mengernyitkan alis. Dingin macam apa sebenarnya yang tidak tercatat pada alat pengukur suhu udara itu? Saya ragu apakah termometer di situ adalah termometer yang saya bayangkan. Dari judulnya saja sudah membuat saya menduga kemungkinan makna-makna dari apa maksudnya. Pada akhirnya, saya tidak hanya mengernyitkan alis ketika membaca puisi penulis Catatan Pinggir yang terkenal itu, namun saya juga dibuat tercengang ketika sampai pada bait akhirnya: “Tuhan/Kenapa kita masih bisa bahagia?” Sampai di situ saya dapat mengecap kental akan makna filosofis namun disajikan dengan penuturan yang sederhana: kosakata, rangkaian kalimat, dan diksi yang sebenarnya sering kita ujarkan setiap hari. Namun, itulah menariknya puisi. Tuturan yang lumrah di telinga justru dapat membuat kita tersentak dalam puisi. Semenjak kalimat pertama, si narator bertutur dengan terjaga dan penuh kehati-hatian agar tidak kesurupan oleh “powerful feelings“.
Tapi, saya pun tidak menganggap bahwa menulis sebagai “an escape from personality” sebagai hal yang ideal dalam proses kreatif. Pemikiran T. S. Eliot itu bisa menyekat kita yang asyik mencari kesenangan menulis atau membaca ke dalam konservatisme dan dogmatisme. Ekspresi liris dalam tulisan juga tetap bisa menjadi hal yang menyenangkan ketika ia dimodifikasi oleh teknik-teknik tertentu.
Albert Camus merupakan pengarang, bagi saya, yang mempunyai orisinalitas dalam menyampaikan ekspresi ke-aku-an. Dalam karyanya berjudul L’Étranger (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Orang Asing), saya sudah langsung menemui ekspresi “aku” yang bersahaja, padat, namun membuat pembacaan menjadi melayang-layang.
“Hari ini Ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu.”
Begitulah Albert Camus memulai novela Orang Asing. Pembukaan yang bersahaja, namun mempunyai bau pengalaman batin manusia yang sangat menyengat. Pengalaman batin yang oleh Albert Camus sebut sebagai “la rèbellion mètaphysique” setelah menyeberangi situasi dan kondisi absurd, ekspresi kontradiktif, penggambaran, dan pengalaman atas realitas tanpa penilaian. Absurditas pun sudah terasa semenjak kalimat pertama.
Pada awal cerita, dia harus mendapati fakta bahwa ibunya telah meninggal. Mendengar kabar itu, sekilas tampak kalau dia meresponsya dengan acuh tak acuh. Dia menanggapi kematian ibunya itu dengan sikap yang penuh kontradiksi. Sikapnya sangat mencerminkan absurditas. Dalam The Myth of Sysiphus, Albert Camus menyatakan, “For the absurd man it is not a matter of explaining and solving, but of experiencing and describing.” Sikap demikianlah yang ditampilkan Meursault: “… saat ini lbu telah dikuburkan, dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku, dan bahwa, secara ringkas, tak ada yang berubah.” Absurd memang, karena seperti demikianlah penggambaran dan pengalamannya ketika mendapati ibunya meninggal. Apakah dia tidak peduli pada kematian ibunya? Sama sekali tidak. Justru kisah mengenai kematian ibunya itu diceritakan cukup panjang dalam karya ini. Itu artinya bahwa bukan berarti dia tidak sedih karena kematian ibunya, namun perasaan kehilangan dan kesedihan telah bercampur aduk, penuh kontradiksi, dan memang tidak terkesan naif jika kita merenungi setiap paragraf demi paragraf yang menceritakan tentang kematian ibunya.
Terlepas dari itu, kita melihat bahwa penulis-penulis yang sudah saya sebutkan itu memperlakukan tulisan sebagai anyaman. Ada strategi peralatan puitis yang menjadi latar belakang akselerasi ekspresi ke-aku-an, bahkan semenjak kalimat pertama karya dituliskan. It’s all about the game where the first sentence brings the writer and the reader together to play. Berpijak dari ini semua, lagi dan lagi, kalimat pertama adalah hal yang sangat krusial. Meminjam cara ucap Chairil Anwar, kalimat pertama mesti “sekali berarti, sesudah itu abadi”.
Catatan
Cerpen Sirajatunda karya Nukila Amal ini tayang di situs Kompas dan diterbitkan pada 19 Desember 2010
Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kata” ini merupakan salah satu puisi dalam kumpulan sajak Dan Kematian Makin Akrab, 1995, terbitan PT. Grasindo, halaman 36
Dalam teks aslinya, suntingan Dr Peter Hutchinson & Dr Michael Minden, 1985, dan kemudian diterbitkan oleh penerbit Routledge, London, kalimat pertamanya seperti berikut: “Als Gregor Samsa eines Morgens aus unruhigen Träumen erwachte, fand er sich in seinem Bett zu einem ungeheueren Ungeziefer verwandelt.” Di sini terjemahan saya mengikuti teks dari bahasa Inggris terbitan dari penerbit Oxford World’s Classics, New York, 2009, yang diterjemahkan oleh Joyce Crick menjadi: “As Gregor Samsa woke one morning from uneasy dreams, he found himself transformed into some kind of monstrous vermin.“
Dalam teks aslinya, Jerman, suntingan Paul Raabe & Dan Schloss (Frankfurt am Main: Fischer Bücherei, 1964), halaman 7, kalimat pertamanya seperti berikut: “Jemand musste Josef K. verleumdet haben, denn ohne dass er etwas Boses getan ha’tte, wurde er eines Morgans verhaftet.” Di sini terjemahan ke dalam bahasa Indonesia mengutip terjemahan dari Sigit Susanto (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016), halaman 1.
Michael H. Whitworth. 2010. Reading Modernist Poetry. MA, Oxford, West Sussex: Wiley-Blackwell, halaman 6
Dalam kata pengantarnya dari Dan Kematian Makin Akrab, 1995, terbitan PT. Grasindo
Orang Asing/Albert Camus; penerjemah: Apsanti Djokosujatno -ed. 1 — Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2013
Robert Audi (ed). 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy 2nd edition. United Kingdom: Cambridge University Press