Keluarga Ungu
Willy menjalankan usaha es batu sudah hampir tiga puluh tahun. Ia sungguh hidup dari es batu, membesarkan dirinya dan keluarganya dari es batu. Dengan begitu, es batu telah meresap dalam dirinya. Hanya dengan melihat matanya saja, kau bisa kedinginan. Sementara itu, Laetitia, sang istri, pernah mengatakan kepada anak-anaknya, "Bagian yang paling dingin dari ayah kalian ada di pundaknya," Sebenarnya ia tak mau mengatakan itu kepada anak bungsunya itu jika saja ia tak berniat minggat dari rumah karena sudah tidak kuat dengan sikap sang ayah belakangan ini.
"Aku mau pergi seperti Kak Cikal ke Jakarta. Aku ingin tau rasanya panas di sana. Akhirnya aku mengerti, Bu, kenapa Kak Cikal pernah bilang kalau ia lebih baik mati terbakar daripada kedinginan. Kami ingin pergi jauh dari ayah!" Kaya Nayla.
"Kalian tak tahu apa pun tentang Jakarta. Kalian tidak mengerti apa-apa tentang ayah kalian," jawab Laetitia.
"Oh, ya? Bukankah ayah bisa mendapatkan hal yang lebih dari es batu jika ia pun ke Jakarta? Kenapa harus di sini? Es batu sama sekali tidak berguna di sini!"
Willy kemudian masuk ke kamar yang sudah kacau itu. Ia kemudian menaruh uang yang sangat banyak tepat di samping anak bungsunya yang telah membuat ibunya menangis.
"Biarkan dia pergi. Ini uang bekal untukmu. Silakan pergi ke mana saja kamu mau. Sesukamu," kata Willy. "Ayah tak bisa lagi melarangmu. Kamu bilang sudah dewasa, bukan? Kau sudah besar, hah? Pergilah. Susul kakakmu di sana. Ayah dan ibu tak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini. Kami akan tetap melanjutkan apa yang sudah kami bangun dengan susah payah yang sangat panjang. Kau boleh mencaci dengan cara apa saja, namun jangan lupa kalau selama ini kau dibesarkan oleh es batu,"
Gadis itu hanya terdiam. Dia menyadari satu hal: ia adalah perempuan sementara kakaknya itu laki-laki. Ia sangat meragukan dirinya jika ia nekat pergi sesuai ingin. Akhirnya, ia tetap memilih bertahan di situ. Dan satu tahun kemudian, ia menyadari bahwa pilihannya itu tepat ketika mengetahui bahwa kakaknya benar-benar mati dibakar oleh massa di Jakarta karena aksi pencurian motor yang ia perbuat. Ketika jasadnya dibawa pulang, semuanya menangis, hanya sang ayah yang tidak. Ia sudah tidak punya air mata karena itu sudah membeku jauh di dalam kedua matanya. Hari itu adalah hari di mana lidahnya sangat beku sehingga tidak ada kata pun terucap meski anak laki-lakinya itu mati mengenaskan. Meski begitu, ia turut terlibat dalam prosesi pemakaman anaknya. Hanya saja, ia melakukannya dengan cara yang tidak biasa. Bagaimana tidak, ia memandikan jasad anaknya itu dengan air yang ditaburi banyak es batu. Kemudian, ia menolak keranda dan memilih membopong jasad sang anak hingga ke liang lahat. Dan orang-orang yang datang di pemakaman pun dengan sendirinya menganggap kalau hujan es yang turun saat pemakaman kala itu adalah azab bagi sang mayit.
Semenjak itu, setelah hampir 30 tahun, akhirnya keluarga itu menutup usaha es batunya. Kini keadaan berbalik, di samping ibunya, Nayla menolak keputusan sang ayah. "Seharusnya tidak ada alasan untuk menutup apa yang telah kita bangun," katanya.
Namun, Willy tetap mantap dengan keputusannya itu. "Tidak apa. Kita bukan menghentikannya, kita hanya akan membuat sesuatu yang lebih dingin dari es batu," jawabnya. Nayla tidak mengerti. Sang ibu kemudian mengatakan kalau ini waktu yang tepat untuk melepaskan dingin yang ada di pundaknya. "Hanya dengan begitu kita dapat terus hidup," kata Laetitia dengan berat hati.
Pada suatu hari di bulan Mei, Willy dan Laetitia siap bergegas melakukan perjalanan yang sangat jauh. Tapi, Nayla tidak diizinkan untuk ikut sehingga ia menangis histeris. Adapun ia berhenti menangis sesaat setelah orang tuanya itu menjawab pertanyaan yang diulang-ulang sebanyak seratus kali oleh Nayla: "Ke Antartika," jawab mereka. Setelah itu, pertanyaan yang diulang-ulang oleh Nayla adalah: "Kenapa?" Bagaimanapun, mereka meyakinkan Nayla sedemikian rupa kalau mereka akan kembali dan tujuan mereka ke sana adalah usaha yang harus mereka lakukan setelah menutup usaha es batu keluarga. "Percayalah, kami tidak akan mati di sana," kata mereka.
Memang benar. Mereka tidak mati di Antartika, namun mereka sebenarnya mati jauh sebelum sampai di sana karena kelaparan dan kedinginan di dalam hutan. Pemerintah terkait menyebut kalau mereka tidak diizinkan pergi ke Antartika tanpa alasan yang jelas walaupun mereka memang membawa bekal dan fasilitas yang cukup. Tetapi, mereka nekat melanggar aturan, pergi secara illegal hanya demi memenuhi keharusan yang dalam catatan singkat yang terletak di dekat mayat mereka bertuliskan: "Kami ingin melepaskan dingin di pundak ke Antartika,"
Nayla yang sendirian, satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Dia tak tahu apa yang harus ia lakukan, apa lagi setelah dia tahu orang sekampung mengganggap mereka sebagai keluarga orang gila yang dikutuk ilmu sihir berbahaya. Tahun demi tahun ia hidup sendiri dengan satu ambisi: Membangun gunung es yang lebih besar dari Himalaya. Ambisinya itu lahir karena kebencian terhadap mereka yang mengganggap keluarganya sebagai segerombolan penyihir dan Nayla adalah satu-satunya penyihir yang tersisa di keluarga. Ia terinspirasi dari kaum Gipsi yang mampu menjadikan es batu sebagai suatu keajaiban, kemudian ia merakit pendidikan es batu ayahnya sebagai hal yang sangat sangat ekstrem, dan dengan begitulah ia mewujudkan ambisi membangun es batu yang lebih tinggi dari Himalaya dan menancap ke kedalaman yang lebih dalam dari Palung Mariana. Setelah jadi, ia akan meledakan gunung es batu itu sehingga mengubur orang-orang, mengubur segalanya, seperti zaman es miliaran tahun lalu.
Pada suatu malam yang berangin kencang di bulan Juli, orang-orang sudah sangat terusik oleh kehadiran Nayla. Mereka benar-benar menaruh curiga yang tak beralasan kepada Nayla yang mengurung dirinya di dalam rumah. Kabarnya, mereka mendengar kalau Nayla hanya memakan sisa-sisa es batu di rumahnya dan kemudian menyempurnakan ajian yang sebelumnya gagal dilakukan oleh kakaknya. Akan tetapi, Nasriah, seorang sepuh sekaligus kyai di kampung itu, segera mengambil sikap untuk meredam dengki dan benci orang-orang di kampung. Ia mengatakan untuk tidak main hakim sendiri dan ia akan pergi sendiri menemui Nayla untuk mencari kejelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Selepas salat isya, Nasriah bergegas. Makin dekat ia menuju tempat tujuan, makin berat dan mengigil ia rasakan.
Orang-orang di kampung khawatir sebab Nasriah belum juga kembali hingga subuh suntuk. Mereka kemudian berunding untuk menyusulnya dan kemudian siap menghanguskan rumah keluarga itu jika terjadi apa-apa dengan Nasriah. Mereka pun lantas bergegas. Tapi, di tengah jalan mereka melihat Nasriah dari kejauhan menghampiri sambil mengais sesuatu yang aneh. Mereka terkejut karena itu adalah tubuh Nayla yang dibalut dengan lilin yang sangat keras dan beku.
"Kita akan menguburnya sekarang," ucap Nasriah.