Lelaki Buta
Seorang lelaki sederhana hidup dengan layak selama tiga puluh tahun tanpa neko-neko. Kemudian, dia kehilangan penglihatannya. Dia tidak bisa lagi berpakaian dengan baik, dan mencuci pun sulit. Keadaan menjadi sedemikian rupa sehingga kematian menjadi sebuah pembebasan – dan itu tidak hanya untuknya.
Namun, dia mampu menjalaninya dengan tenang di awal-awal. Hal ini berlangsung selama dia masih bisa melihat di malam hari dalam mimpinya. Kemudian keadaan semakin memburuk.
Dia memiliki dua orang saudara yang mengizinkannya tinggal bersama mereka dan yang selalu mengasuhnya. Pada siang hari mereka pergi bekerja, lelaki buta itu sendirian di rumah selama delapan jam sehari atau lebih. Selama delapan jam yang panjang, lelaki yang selama tiga puluh tahun memiliki penglihatan tanpa menyadarinya, duduk di tempat tidurnya dalam kegelapan atau berjalan di sekitar ruangan. Pada awalnya, para lelaki yang pernah bermain kartu dengan dia dengan taruhan kecil datang menemuinya. Mereka berbicara tentang politik, perempuan, dan masa depan. Pria yang mereka bicarakan tidak memiliki ketiga hal tersebut, dan juga tidak memiliki pekerjaan. Para lelaki itu memberitahunya apa yang mereka ketahui dan tidak pernah datang lagi. Beberapa orang meninggal lebih cepat dari yang lain.
Lelaki buta itu berjalan mondar-mandir setidaknya selama delapan jam sehari jika dia beruntung. Setelah tiga hari, dia terhenti karena menabrak sesuatu. Hanya untuk menghibur diri, dia memikirkan segala sesuatu yang pernah terjadi padanya. Dia bahkan mengingat dengan senang hati pukulan-pukulan yang pernah diberikan oleh orang tuanya sebagai seorang anak untuk membuatnya tumbuh menjadi orang yang baik. Semua ini berlangsung selama beberapa saat. Tapi kemudian delapan jam menjadi terlalu lama baginya. Orang yang dimaksud berusia tiga puluh tahun dan beberapa bulan. Dengan keberuntungan, seorang lelaki dapat hidup selama empat puluh tahun. Jadi dia bisa berharap untuk empat puluh tahun lagi. Saudara-saudaranya memberitahukan kepadanya bahwa ia tumbuh semakin gemuk. Hal itu disebabkan oleh kehidupannya yang mudah. Jika terus begini, dia mungkin akan menjadi terlalu gemuk untuk masuk ke dalam pintu. Kemudian, ketika saatnya tiba, mereka harus memotong-motong tubuhnya jika tidak ingin merusak pintu. Terlalu lama dia menghibur dirinya dengan pikiran seperti ini. Pada malam harinya, dia menceritakan kepada saudara-saudaranya bahwa dia telah pergi ke balai musik. Mereka tertawa.
Mereka sangat baik hati dan mencintainya selayaknya manusia mencintai sesama, karena lelaki buta itu adalah orang yang baik. Mengurusnya tidaklah mudah bagi mereka, tetapi mereka tidak pernah memikirkan masalah itu. Pada awalnya mereka sering mengajaknya pergi ke teater dan dia menikmatinya. Tetapi ketika ia menemukan sifat kata-kata yang buruk, itu hanya membuatnya sedih. Sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa ia tidak memiliki pemahaman tentang musik.
Setelah beberapa saat, saudara-saudaranya ingat bahwa sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali dia keluar rumah. Mereka membawanya sekali dan dia merasa pingsan. Ketika seorang anak mengajaknya berjalan-jalan, dia lari untuk bermain dan dia diliputi oleh rasa takut yang sangat besar dan tidak dibawa pulang sampai larut malam. Kemudian saudara-saudara yang mengkhawatirkannya tertawa dan berkata: "Kamu pasti bersama seorang perempuan," dan "Kami tidak bisa menyingkirkanmu, kamu tahu". Mereka mengartikannya sebagai lelucon, karena senang mendapatkannya kembali.
Malam itu dia tidak bisa tidur untuk waktu yang lama. Dua kalimat itu mengendap seperti penghuni liar dan membuat diri mereka betah di dalam otaknya yang telah menjadi tidak ramah terhadap sisi kehidupan yang lebih cerah seperti halnya rumah tanpa jendela bagi para penghuni yang ceria. Dia tidak pernah melihat wajah mereka, ucapan mereka sangat buruk. Ketika dia telah memikirkan hal ini untuk waktu yang lama tanpa sampai pada kesimpulan, dia mengesampingkan pikiran-pikiran seperti itu seperti kulit anggur yang sudah dikunyah yang tergeletak di lantai yang kotor dan membuat kakimu tergelincir.
Salah satu saudara pernah berkata kepadanya pada waktu makan: "Jangan menyuapkan makanan dengan tangan. Gunakan dua sendok sebagai gantinya". Karena sangat terkejut, ia meletakkan garpunya dan di udara ia melihat anak-anak sedang makan. Mereka langsung menenangkannya. Tetapi setelah beberapa saat, saudara itu mulai meminta makanannya diantarkan ke pabrik. Hal ini disebabkan karena perjalanan yang jauh. Lelaki buta itu, yang berjalan sendiri setidaknya selama delapan jam sehari, belum sempat berpikir tentang hal itu ketika saudara yang satu lagi dengan iseng bertanya apakah dia mengalami banyak kesulitan untuk membersihkan dirinya sendiri. Sejak hari itu, lelaki buta itu tidak menyukai air, seperti anjing yang terkena rabies. Karena sekarang ia menyadari bahwa ia telah bersabar cukup lama dan tidak ada alasan mengapa saudara-saudaranya harus hidup dalam kesenangan jika ia binasa dalam kesengsaraan dan kesepian.
Dia menumbuhkan jenggot dan tidak bisa lagi mengenali dirinya sendiri. Pakaiannya dibersihkan oleh saudara-saudaranya, tetapi sejak saat itu noda dari makanan yang ia tumpahkan di bajunya semakin memburuk. Pada saat yang sama, ia memiliki kebiasaan yang tidak dapat dijelaskan, yaitu ingin berbaring di tanah seperti seekor babi.
Dia menjadi sangat kotor sehingga saudara-saudaranya tidak dapat membawanya ke mana-mana. Sekarang dia harus menghabiskan hari Minggu sendirian, berjalan-jalan. Pada hari Minggu seperti itu, berbagai kecelakaan terjadi. Suatu kali ia jatuh ke wastafel dan menumpahkannya ke tempat tidur kakaknya, yang membutuhkan waktu lama untuk mengeringkannya. Di lain waktu ia mengenakan celana kakaknya dan mengotori celana itu. Ketika saudara-saudaranya menyadari bahwa ia melakukan hal ini dengan sengaja, mereka merasa sangat kasihan kepadanya pada awalnya. Kemudian mereka memintanya untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu. Kemalangan mereka sudah cukup besar. Dia mendengarkan dengan tenang, kepalanya tertunduk, dan menjaga ucapan mereka itu di dalam hatinya.
Mereka juga mencoba membuatnya bekerja. Mereka sama sekali tidak berhasil. Dia sangat ceroboh sehingga merusak barang-barang. Mereka datang untuk melihat bahwa dia semakin tidak waras setiap harinya, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa.
Maka lelaki buta itu berjalan dalam kegelapan dan merenungkan bagaimana dia dapat menambah penderitaannya agar dapat menanggungnya dengan lebih baik. Karena, baginya, siksaan yang besar lebih mudah ditanggung daripada siksaan yang kecil.
Dia yang selalu begitu bersih sehingga ibunya semasa hidupnya telah menjadikannya teladan bagi saudara-saudaranya, sekarang mulai mengotori dirinya sendiri dengan buang air kecil di pakaiannya.
Hal ini membuat saudara-saudaranya berunding untuk memasukkannya ke sebuah panti. Dia mendengarkan diskusi mereka dari kamar sebelah. Dan ketika dia memikirkan panti tersebut, semua penderitaan masa lalunya tampak cerah dan indah, begitu bencinya dia pada pandangan itu. Ada lebih banyak orang seperti aku di sana, pikirnya, orang-orang yang telah berdamai dengan penderitaan mereka, orang-orang yang menanggungnya dengan lebih baik. Di tempat itu kita akan cenderung mengampuni Tuhan. Aku tidak mau masuk ke sana.
Ketika saudara-saudaranya pergi, dia duduk lama dalam perenungan yang panjang, dan lima menit sebelum dia mengharapkan mereka kembali, dia menyalakan keran gas. Dia mematikannya lagi ketika mereka terlambat. Namun, ketika dia mendengar mereka di tangga, dia menyalakannya sekali lagi dan berbaring di tempat tidurnya. Mereka menemukannya di sana dan diliputi oleh rasa takut yang luar biasa. Mereka bersusah payah bersamanya selama satu malam penuh dan mencoba untuk membangkitkan kembali minatnya pada kehidupan. Dengan gigih dia menolak usaha mereka. Itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupnya.
Namun kemudian prosedur untuk memasukkannya ke Panti Sosial Bina Netra dipercepat.
Pada malam hari sebelum hari yang telah ditentukan, lelaki buta itu berada di rumah mereka sendirian dan mencoba membakar rumah itu. Saudara-saudaranya tiba-tiba kembali lebih awal dan memadamkan kobaran api. Ketika melakukan hal itu, salah satu dari mereka tidak dapat menahan amarahnya dan mulai meneriaki lelaki buta itu. Dia menyebutkan semua kemalangan yang telah mereka alami, tidak ada satu pun yang tidak perlu dipermasalahkan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tetapi sebaliknya membesar-besarkan setiap hal. Lelaki buta itu mendengarkan dengan sabar dan wajahnya menunjukkan kesedihannya. Kemudian saudara yang satu lagi, yang masih merasa kasihan kepadanya, berusaha menghiburnya sebisa mungkin. Dia duduk bersamanya selama setengah malam dan memeluknya. Tetapi saudara yang buta itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Keesokan harinya para saudara harus pergi bekerja, dan melakukannya dengan berat hati. Dan ketika mereka pulang ke rumah pada malam itu untuk membawanya ke panti, lelaki buta itu telah menghilang.
Ketika malam tiba, setelah mendengar jam kota berdentang, lelaki buta itu menuruni tangga. Ke mana? Menuju kematian. Dia telah meraba-raba dengan susah payah di jalanan, jatuh, ditertawakan, didorong dan dicaci maki. Kemudian dia sampai di tepi kota.
Hari itu adalah hari yang sangat dingin di musim dingin. Lelaki buta itu sebenarnya senang karena kedinginan. Dia telah diusir dari rumahnya. Semua orang telah berbalik melawannya. Dia tidak peduli. Dia memanfaatkan langit yang dingin untuk kehancurannya sendiri. Tuhan tidak diampuni.
Dia tidak bisa menerimanya. Sebuah ketidakadilan telah terjadi padanya. Dia telah menjadi buta, buta bukan karena kesalahannya sendiri, dan kemudian diusir di tengah es dan angin bersalju. Ini adalah perbuatan saudara-saudaranya sendiri, yang memiliki hak istimewa untuk melihat.
Lelaki buta itu menyeberangi padang rumput hingga tiba di sebuah sungai. Dia melangkah masuk. Dia berpikir: Sekarang aku akan mati. Sekarang aku akan dipaksa masuk ke dalam sungai. Ayub tidak buta. Tidak pernah ada orang yang menanggung penderitaan yang lebih besar.
Kemudian dia berenang ke dalam sungai.
Bahasa Sumber:
Brecht, Bertolt. 2015. The Collected Stories of Bertolt Brecht, "The Blind Man” hlm 33-38. (diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Yvonne Kapp, Hugh Rorrison, & Anthony Tatlow). New York: Bloomsbury