Mencatat Gojo Satoru
“Are you the strongest because you’re Satoru Gojo? Or are you Satoru Gojo because you’re the strongest?”
Bagi penonton yang jeli, kita pasti kerap menangkap basah tatapan mata Gojo Satoru yang kosong. Cerita lantas berlanjut hingga kita pun paham kekosongan Gojo merupakan imbas masa kecilnya yang penuh dengan kesedihan. Gojo Satoru kecil adalah seorang anak yang sudah dibebani masalah yang tak masuk akal. Tak ada sukacita. Bagaimana tidak, Gojo kecil yang baru belajar mengeja kata itu sudah menjadi target pembunuhan di mana kepalanya bahkan dibanderol dengan miliaran uang. Gojo Satoru adalah orang yang sangat spesial. Kelahirannya menciptakan keseimbangan dunia Jujutsu sehingga memaksa semua roh kutukan bersembunyi dan menekan beberapa untuk menjadi lebih kuat.
Gojo Satoru identik dengan kekuatan yang tak terkalahkan. Tetapi, harga yang harus ia bayar atas kekuatannya itu adalah kesepian dan keterasingan. Salah satu kekuatannya yang sangat keren dalam menumpas iblis, Limitless (無む下か限げん Mukangen), merupakan pedang bermata dua bagi Gojo Satoru. Pertama, teknik itu memang ampuh dalam menumbangkan ancaman roh kutukan; kedua, teknik itu juga mempunyai efek samping psikologis yang berbahaya bagi Gojo sendiri. Teknik itu membuat Gojo menjadi seorang yang terasing dari masyarakat.
Dia tidak memiliki kawan dan hubungan yang bermakna dengan orang lain, memaksanya untuk menjaga jarak dari orang lain. Meski membanggakannya, Gojo Satoru tidak bisa mengelak bahwa di samping statusnya sebagai Yang Terkuat, ia juga merupakan Yang Tersendiri. Bagi Gojo, kekuatan adalah kesepian. Sedari muda, Gojo sudah menanggung beban yang sangat berat dan harapan besar lingkungan. Gojo dituntut untuk kuat, terus menguat, hingga pada akhirnya menjadi yang terkuat. Dengan itu kita ingat tentunya quote dahsyat Suguru Geto yang mengatakan;
"Apakah kau yang terkuat karena kau itu Satoru Gojo? Atau, apakah kau Satoru Gojo karena kau itu yang terkuat?"
Pertanyaan serius yang diajukan Suguru Geto itu hendak mempertanyakan apakah Gojo yang begitu kuat itu karena bakatnya sendiri atau karena ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya? Dengan latar belakang inilah saya bisa paham kenapa Gojo Satoru mempunyai kepribadian yang sangat kompleks, deep, dan tak jarang mengejutkan. Jadi, tidak mengherankan kalau tokoh cerita besutan Gege Akutami ini selalu menjadi penyebab kesalahpahaman.
Pertama-tama, mari kita lihat dari segi karakter dan kepribadiannya. Gojo memiliki mentalitas yang kuat, yaitu berupa mentalitas "Aku bisa, maka aku akan". Hal ini tidak mengherankan mengingat posisinya sebagai sosok yang menduduki puncak kekuatan. Musuh-musuh mencacinya bak bandit dan para pengagum memujanya bak dewa. Gojo tidak terikat oleh aturan-aturan, dan bersedia melanggarnya kapan pun ia melihat sesuatu yang layak dilanggar. Namun, mengapa dia menjadi sosok yang demikian? Apa yang mungkin membuatnya bertindak seperti itu?
Untuk memahami Gojo, kita perlu melihat ke belakang, ke masa lalunya. Ada tiga tahap penting dalam hidup Gojo yang menjadi landasan bagi kepribadiannya yang sekarang. Pertama, masa kecilnya. Meskipun hanya ada sedikit adegan dan referensi tentang masa kecil Gojo, namun sudah cukup untuk menafsirkan bagaimana kehidupannya saat itu. Dunia Jujutsu yang keras dan pentingnya garis keturunan antar klan membuat Gojo, yang mewarisi bukan hanya satu tetapi dua kemampuan langka, The Six Eyes (六りく眼がん Rikugan) dan Limitless (無む下か限げん Mukangen), menjadi sosok yang menakutkan. Dia telah menunjukkan ketakutan yang menghantui para pengguna kutukan yang berpengalaman hanya dengan tatapannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Gojo akan menjadi arogan dan percaya diri tumbuh dengan kekuatan sejak dia lahir, dan dihargai oleh lingkungannya sejak saat itu. Dia dianggap sebagai sebuah fenomena yang mengubah keseimbangan dunia, dan diperlakukan seperti peristiwa bersejarah itu sendiri.
Kemudian, masuk pada masa remajanya sebagai siswa di Jujutsu Tech. Sikap sombong dan superioritasnya terlihat jelas, hasil dari kehidupan masa kecilnya. Sekarang, sebagai sorcerer kelas khusus, kita bisa melihat bagaimana dia bersedia melanggar aturan dan melawan sistem dalam pembicaraannya. Dia bahkan menyatakan bahwa melindungi yang lemah adalah sesuatu yang merepotkan baginya. Namun, segalanya berubah ketika bencana datang. Toji muncul dan menghancurkan segalanya. Riko terbunuh, Geto hampir mati, dan segala yang mereka percayai hancur berkeping-keping. Ini membuat Geto mulai meragukan moralitas dan perannya, yang pada akhirnya juga mempengaruhi Gojo. Toji adalah alasan Gojo menjadi yang terkuat, tetapi juga menjadi penghalang pertama dalam hidupnya. Gojo dalam pertarungan kedua dengan Toji terasa mati rasa dan kehilangan kendali karena syok. Dia hanya menikmati momen itu tanpa berpikir tentang Riko atau apa pun, hanya menikmati kekuatan dan kekuasaan yang baru. Di akhir arc ini, Gojo semakin membenci para tetua Jujutsu dan masyarakat, dan membunuh mereka menjadi pilihan baginya sekarang.
Gojo kemudian memilih jalannya sendiri, memutuskan untuk mengajar dan membuat sekutu yang akan mengubah sistem. Namun, yang lebih menyakitkan adalah bahwa di lubuk hatinya, dia mungkin hanya menginginkan seseorang yang sejajar dengannya atau bahkan mengambil gelar terkuat darinya karena dia muak dengan itu. Namun, dia tidak bisa meninggalkannya karena dia sangat menghargainya.
Gojo melanjutkan perjalanannya dengan mengasuh Megumi Fushiguro sebagai muridnya. Di situ kita melihat sifat urakan Gojo yaitu berupa pembangkangan eksekusi Yuji dan Yuta sebagian karena dia ingin menghindari pengulangan tragedi Riko. Dengan itu Gojo ingin murid-muridnya dapat memahami dirinya. Gojo merasa sendirian. Dia sering menyebut bahwa murid-muridnya yang genius ini akan melampaui dirinya dan menggantikannya. Dia ingin itu terjadi untuk kebaikan bersama dan untuk dirinya sendiri.
Inilah kompleksitas yang dimilikinya dari menjadi puncak dunia tempat dia berada sekarang. Setelah melihat sejarahnya, kita dapat memahami mengapa Gojo menjadi seperti sekarang ini. Dia selalu lebih unggul, dia suka itu, tapi dia juga takut kehilangannya. Dia sering menunjukkan tanda-tanda menantikan untuk digantikan, tetapi juga tidak ingin itu terjadi. Apakah ada kualitas lain selain kekuatan? Ini adalah pertanyaan yang menghantui Gojo, dan dia tidak bisa menjawabnya dengan jelas.
Dalam hal ini, identitas Gojo dilihat sebagai sesuatu yang berubah-ubah, bergantung pada persepsi orang lain. Dia digambarkan sebagai wadah tanpa esensi, di mana orang lain dapat memproyeksikan ekspektasi mereka terhadapnya sebagai yang terkuat.
Kendati demikian, momen sepi sendiri Gojo sempat terobati dengan kehadiran Suguru Geto. Oleh karena itu, kematian Geto adalah hantaman yang sangat keras bagi Gojo. Namun, Gojo tidak putus asa. Ia memilih untuk terus berharap dengan segenap cara agar bisa mengatasi kesendirian dan kekosongan dalam dirinya. Adalah murid-muridnya yang menjadi harapan terakhir Gojo. Kesendirian yang dirasakannya mendorongnya untuk menghargai kebersamaan meski tanpa seorang sahabat sejatinya Suguru Geto, sehingga ia berusaha untuk membantu para muridnya agar bisa menyamai dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa di balik keseriusannya sebagai seorang sorcerer, Gojo terus memupuk nilai kebersamaan.
Sampai di sinilah kenapa saya setuju kalau Gojo memang harus mati dari Sukuna. Gojo memang tak boleh kembali. Sepeninggalan Geto, saya pikir Sukuna juga merupakan antidot atas kesepian Gojo. Bagi saya, pertarungan Gojo dan Sukuna itu lebih dari unjuk kekuatan atau adu jurus antara tokoh kuat. Dari sudut pandang Gojo, ada kesadaran dan pengertian yang eksistensial di balik pertarungan mereka. Di sini perkataan Sukuna menarik untuk diperhatikan ketika ia berhasil menebas Gojo dengan teknik kutukannya berupa tebasan:
"The technique’s target isn’t just Satoru Gojo. It’s extended to space, existence, and even the world itself, all of which… As long as you still exist in that space, in this world, your existence will be split in half along with everything else.”
Dengan demikian, meski tubuh Gojo terbelah menjadi dua, namun teknik kutukan Sukuna itu juga bisa kita maknai sebagai pembebasan Gojo dari eksistensi dirinya yang sepi sendiri. Sukuna hadir untuk membebaskan Gojo dari kesepian dan kesendirian yang sepanjang hidup menggerogoti dirinya. Jadi, bagi saya, kematian Gojo seharusnya menjadi puncak kebahagiaan dan pemenuhan cita-citanya, bukan sekadar pertarungan spektakuler yang memperlihatkan kekuatannya semata.
Perjalanan emosionalnya dari kesendirian menuju pengalaman bermakna sejenak dengan Geto hingga Sukuna menggambarkan kompleksitas karakter yang tidak bisa dianggap remeh. Ini menjadikan Gojo sebagai salah satu karakter paling menarik dalam cerita ini.