Kekacauan lahir dari kebingungan. Begitulah yang terjadi pada Pandawa dan Kurawa. Dua keluarga yang kerap berseteru itu, pada suatu masa, pernah mengalami kebingungan. Kekacauan yang biasanya disebabkan oleh perang, kini disebabkan oleh kebingungan. Dan pada masa itu pula sejenak Pandawa dan Kurawa menunda peperangan. Apa sebab? Jawabannya, Semar telah hilang. Pandawa dan Kurawa telah kehilangan sosok pamomong yang ngemong. Semar.
Bahkan para penduduk di tanah Jawa meratapi kehilangan Semar. Tak ada lagi yang mengasuh dan menjaga kehidupan di tanah Jawa. Sementara itu, yang tersisa dari kehilangan Semar hanyalah anak-anak Semar. Dengan kata lain, Semar telah hilang di tengah banyaknya Semar. Semar yang banyak itu ada hingga menipu anak-anak Kurawa dan Pandawa. Kebingungan terjadi ketika Semar di pihak Kurawa bertemu dengan Semar di pihak Pandawa. Baik Kurawa dan Pandawa saling mengklaim bahwa Semar yang ada di pihak mereka adalah Semar yang asli. Mereka tidak sadar bahwa Semar yang ada di sana dan di sini hanyalah Semar palsu. Bagaimanapun, Semar mereka tiada berbeda. Mereka Semar kembar baik dari penampilan fisik hingga karakternya. Padahal, baru saja mereka menemukan Semar dan rasa senang itu berakhir pada kebingungan. Mana Semar yang asli?
Kemudian, terpaksa Pandawa dan Kurawa mengadukan Semar kembar itu seperti adu ayam jago. Bergelutlah kemudian Semar-Semar itu untuk membuktikan dirinya sebagai Semar yang asli. Akan tetapi, tidak ada yang menang; tak ada yang kalah. Semar kembar itu seimbang. Bagaimana tidak, mereka bahkan bertarung dengan gaya khas Semar seperti biasanya: ngruwel, ngruwek, ngusek, ngruwes, dan mengeluarkan kentut busuk. Oleh karena itu, terus saja Pandawa dan Kurawa makin bingung sebab jika begitu, lantas bagaimana lagi mereka mengetahui Semar yang asli? Kesaktian Arjuna dan Bima atau elmu tingkat tinggi Patih Sengkuni bahkan tidak bisa menangani permasalahan ini. Sementara itu, Semar-Semar itu masih terus bergelut satu sama lain dengan seimbang. Sama sekali tidak ada yang mengira kalau Semar sejati itu sebenarnya sedang berada di suatu tempat paling sepi di langit, Bukit Puspitaarga.
Akhirnya, kegaduhan di dunia bawah itu kemudian terdengar oleh Semar sejati, yang saat itu sedang mewujud sebagai Sang Hyang Ismayajati. Di Goro-goro Bukit Bunga itu Sang Hyang Ismayajati melihat Anoman, Abimanyu, dan Gatotkaca dirundung bingung setelah mendapati Semar-Semar yang sebelumnya bergulung-gulung satu sama lain itu pada akhirnya menjelma telur-telur. Sang Hyang Ismayajati kemudian berseru memberitahu bahwa telur-telur itu merupakan Semar-Semar yang badhar seraya mengingatkan Pandawa dan Kurawa: “Pulanglah ke alam kalian, jangan ganggu dunia dengan kejahatan! Hati-hatilah, kejahatan selalu dapat menyamar dalam kebaikan,” Setelah itu, Sang Hyang Ismayajati kembali menghilang meskipun Pandawa dan Kurawa sudah memohon padanya untuk tetap tinggal di sini demi kehidupan yang tenteram dan damai.
Ya, cerita tentang Semar yang hilang dan Semar yang mencari raga adalah bagian yang paling saya sukai dari buku ini. Tentu saja, karena buku ini memang berfokus pada Semar, maka buku ini pun banyak memberikan banyak hal menarik tentang salah satu tokoh dalam dunia pewayangan itu. Buku karya Sindhunata ini secara tidak langsung memang berindikasi memberitahu fitrah sejati Semar dengan narasi dan gaya bercerita sastrawi.
Perihal Isi dan Bentuk
Adapun scene yang saya sukai dari buku ini yaitu ketika ruh sejati Semar, Sang Hyang Ismayajati, galau hebat mencari raga dan merasa hampa meski ia berada di Bukit Bunga. Ia bersedih karena tidak lagi mengenal dirinya sendiri karena telah kehilangan raga. Kemudian, kegalauan Sang Hyang Ismayajati itu terdengar oleh Sang Hyang Tunggal (yang diceritakan ternyata merupakan sang ayah dari Sang Hyang Ismayajati itu sendiri). Sang Hyang Tunggal kemudian hadir pada sosok yang juga disebut sebagai Semar Kiai Respati itu. Ia lantas berusaha meredakan kesedihan Semar Kiai Respati yang digambarkan membikin “malam kehilangan bulan, dan alam jadi tanpa keindahan”.
Sang Hyang Tunggal pun memahami dan kemudian mengizinkan Semar Kiai Respati untuk memenuhi keinginan terdalamnya. Mencari raga untuk kembali mengenal dirinya sendiri. Di titik itulah Sindhunata menggambarkan momen filosofis dan puitis. Disuruhnya Sang Hyang Ismayajati untuk mencari raga yang kemudian disusul oleh momen “Di antara bulan dan matahari mendadak tumbuh sebatang pohon Mandira”, dan kemudian Sang Hyang Tunggal berkata lebih lanjut kepada Semar, yang akan saya kutip secara langsung dari bukunya:
“Semar, kaulah pohon Mandira itu. Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya, Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dalam terang, kejahatan dalam kebaikan. Semar, banyak orang tertipu oleh kejahatan yang tersembunyi di dalam kebaikan. Mereka menjadi sombong karena kebaikan. Jika matamu benar-benar samar, ya, Semar, maka kau tak akan terpukau oleh apa pun, juga oleh kebaikan, yang bersembunyi dalam kejahatan,”
Ini buku bagus yang bukan hanya dari segi isi, namun juga dari segi penyampaian. Kemampuan sang penulis dalam menggerakan bahasa Indonesia sangatlah menakjubkan. Dengan membaca buku ini setidaknya kita akan melihat kalau bahasa Indonesia tak semiskin seperti yang dikira. Di tangan penulis dengan IQ di atas rata-rata seperti Sindhunata, bahasa Indonesia bukan hanya kaya, namun juga bisa menjadi bahasa yang sangat indah. Cara Sindhunata dalam merangkai kalimat sangatlah ciamik. Bahkan, sejujurnya, saya lebih menikmati performa sintaksis dan diksi ketimbang isi dari buku ini.
Semar dalam Lanskap Mitologi
Semar merupakan kekayaan mitologi Jawa yang digambarkan sebagai tokoh unik perpaduan humor dan kebijaksanaan, perpaduan chaos and order. Sering digambarkan dalam lakon wayang sebagai salah satu punokawan, atau badut, Semar tidak seperti yang lain, karena ia dianggap ilahiah dan memiliki kebijaksanaan yang luar biasa. Dihormati sebagai dhanyang, atau roh penjaga, sosok pamomong yang ngemong dari Jawa, Semar terkadang dipandang sebagai karakter paling sakral dalam dunia pewayangan.
Dalam buku ini, Sindhunata, lewat lidah Sang Hyang Tunggal, menggambarkan ciri khas Semar:
"Kau (Semar) adalah dhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita. Namun, kau berkuncung seperti pria. Maka, sulitlah memastikan, apakah kau lelaki atau wanita. Kau kuat seperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita... Maka kau, yang jelek, sang dhudha nanang nunung... walau rendah, sudra, papa, dan papa, orang akan tertarik akan keutamaan, karena dalam dirimu ada sejatinya cinta lelaki dan wanita,"
Dalam representasi tradisional, Semar biasanya mengenakan kain sarung kotak-kotak, yang melambangkan sifatnya yang suci. Terlepas dari penampilannya yang unik (kalau bukan aneh), Semar memainkan peran yang mendalam. Ia sering menjadi penasihat spiritual dan memberikan dukungan magis kepada keluarga kerajaan.
Pada intinya, Semar mewujudkan kebijaksanaan dan semangat masyarakat Jawa, memainkan peran penting dalam narasi dan pertunjukan budaya mereka. Sebagai sosok ilahi dan roh penjaga, Semar terus memikat dan mengingatkan kita akan akar spiritual yang dalam dari budaya di tanah kita sendiri.
Informasi Buku:
Judul Buku: Anak-Anak Semar
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Juni 2022
Jumlah Halaman: 191 Halaman
ISBN: 978-602-06-6208-4