Setelah menonton film Pulp Fiction, saya kembali mendapatkan film yang benar-benar membingungkan, ialah film My Dinner with Andre. Pada akhirnya saya pun mengetahui ternyata film ini merupakan karya postmodern. Tidak mengherankan pada saat menonton film ini begitu seringnya saya harus mengernyitkan alis, dan sesekali menguap sambil dalam hati bergumam, “Ini film tentang apaan, sih?” Ketika selesai menonton film ini, saya pun masih tidak mengerti apa sebenarnya maksud dari film ini.
Setelah menonton film ini untuk kali kedua dengan penuh perhatian, saya menyimpulkan bahwa film My Dinner with Andre ini merupakan karya yang berusaha merefleksikan pemikiran postmodern dan juga surrealis a la Andre Breton. Seandainya kita dibuat bingung ketika menonton film ini, maka sebenarnya film ini telah sukses. Saya menduga, kita tidak akan kebingungan ketika menonton film ini jika kita mengetahui hal-ihwal tentang postmodern dan surrealisme.
Menurut saya, postmodernisme dalam film Pulp Fiction terasa kental dalam penokohannya, namun dalam film My Dinner with Andre ini postmodernisme terletak pada dialog-dialog antartokohnya, ditambah lagi dengan gestur-gestur tubuh para tokohnya ketika mereka sedang berdialog.
Cerita film My Dinner with Andre ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu dua orang pria paruh baya yang mengadakan pertemuan di sebuah kafe atau restoran, mereka adalah Wally dan Andre. Setelah bertemu, dua orang ini lalu berbincang-bincang sambil menyantap makanan dari sajian restoran. Seperti itu, tidak lebih, tidak ada adegan-adegan yang tampak ‘wah’ tidak ada hal-hal seperti awal (dalam film ini sebenarnya ada awal, namun tidaklah jelas), klimaks, dan anti-klimaks seperti yang biasanya kita temukan dalam film-film modern. Saya sarankan untuk tidak menaruh harapan tinggi terhadap film ini, apa lagi mengharapkan sebuah amanat yang jelas seperti yang biasanya kita harapkan ketika sudah selesai menonton sebuah film. Yang jelas, film ini begitu dibanjiri oleh dialog-dialog dengan topik-topik yang akan begitu sulit kita ikuti.
Saking lebatnya dialog dalam film ini, kita akan mendapati topik-topik yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Jika diperkenankan, saya akan menggambarkan dialog-dialog dalam film ini seperti arus sungai deras yang mengalir apa adanya. Ya, mirip seperti teknik “automatic writing” Andre Breton dalam Manifesto Surrealisme terkenal yang pernah dia gaungkan. Pada intinya, film My Dinner with Andre ini merupakan karya film anti-konvensi yang hendak menggoyahkan pola berpikir kita selama ini. Ya, hal itu merupakan ciri khas dari pemikiran postmodernisme yang bisa dibilang anti-kemapanan.
Apa itu postmodernisme?
Apa itu surrealisme?
Dua pertanyaan di atas itu penting bagi kita jika memang hendak memahami film My Dinner with Andre, ataupun film-film membingungkan (baca: postmodernisme) lainnya. Oleh karenanya, saya ingin terlebih dahulu memberikan sedikit informasi tentang postmodernisme dan surrealisme.
Postmodernisme
Postmodernisme merupakan suatu aliran intelektual yang menawarkan gagasan yang sangat kompleks. Kita tidak akan bisa memahaminya secara definisi. Yang mesti diingat lainnya, maksud dari kata ‘postmodernisme’ itu sendiri sangatlah tidak jelas. Kata ‘post’ di sini tidak berarti ‘setelah’, tidak merujuk pada sesuatu yang baru. Dengan kata lain, postmodernisme bukan berarti sesuatu yang baru yang telah melampaui modernisme, melainkan transformasi lain dari modernisme itu sendiri. Misal, salah satu gerakan postmodern ialah postsrukturalisme. Kata ‘post’ di sini tidak menawarkan sesuatu yang berbeda dari strukturalisme. Maksud ‘post’ di sini adalah “with but also different” maksudnya, postsrukturalisme masih merupakan strukturalisme itu sendiri, namun dalam “bentuk” yang berbeda (Williams, 2005: 25). Begitu pun dengan postmodernisme, tidak ada sesuatu yang baru yang membicarakan topik-topik di luar modernisme itu sendiri.
Pemikiran postmodernisme, secara tipikal, merupakan reaksi yang disertai kecurigaan terhadap segala gagasan yang mapan (Connor, 2004: 20). Dengan kata lain, ciri khas pemikiran postmodernisme adalah gugatan terhadap modernisme dengan segala cita-cita dan narasi-narasi besarnya. Postmodernisme mempertanyakan pandangan-pandangan seperti bahwa manusia adalah pusat yang menentukan segalanya, optimisme sains, ideologi-ideologi besar, ataupun harapan-harapan metafisis. Dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition, Lyotard (1984: xxiv), seorang pemikir asal Perancis, mengatakan bahwa postmodern adalah ketidakpercayaan terhadap narasi-narasi besar, dan ketidakpercayaan ini niscaya merupakan produk dari progres-progres dalam sains. Lebih lanjut, penyimpangan tujuan narasi-narasi besar itu didemonstrasikan oleh dimensi-dimensi bahasa.
Surrealisme
Kemunculan surrealisme merupakan respons terhadap situasi dan kondisi historis setelah Perang Dunia I. Pergerakan yang mendakwa dirinya sebagai gerakan revousioner dalam kesusastraan ini dipelopori oleh seorang penyair dan pemikir Perancis, Andre Breton. Pada 1924, dia menuliskan sebuah manifesto berjudul Manifeste du surrealisme. Banyak pergerakan pada abad ke-20 seperti Dadaisme, Futurisme, and Imagisme, namun yang paling banyak memberikan pengaruh adalah Surealisme (Reisman, 2012: 1). Gagasan yang dipelopori Andre Breton itu menekankan tentang pentingnya membebaskan kekuatan imajinasi manusia, dan dialog dengan alam bawah sadar lewat tulisan hingga asosiasi-asosiasi gambar. Dalam manifestonya itu, Andre Breton menjelaskan pengertian Surrealisme dengan gaya bahasa seperti kamus dan ensiklopedia (Aspley, 2010: 5);
“SURREALISM. Pure psychic automatism by which it is proposed to express, either verbally or in writing, or in any other manner, thought’s real functioning. The dictation of thought, in the absence of any check exerted by reason, without any aesthetic or moral preoccupation. ENCYCL. Philos. Surrealism is based on the belief in the superior reality of certain hitherto neglected forms of association, in the omnipotence of dream, in the disinterested working of thought. It tends to ruin definitively all the other psychic mechanisms and to replace them in the solution of life’s principal problems. Aragon, Baron, Boiffard, Breton, Carrive, Crevel, Delteil, Desnos, Éluard, Gérard, Limbour, Malkine, Morise, Naville, Noll, Péret, Picon, Soupault and Vitrac have practiced ABSOLUTE SURREALISM.”
Abrams (1999: 310) mengomentari Surrealisme dengan mengatakan bahwa ia merupakan pergerakan revolusioner yang bertujuan membebaskan kreativitas manusia dari konvensi-konvensi dan norma-norma estetika yang ada. Ia menawarkan sesuatu bernama “automatic writing” dan menekankan pentingnya memanfaatkan dunia imajinasi tanpa batasan apapun. Sebagai sebuah pergerakan, Surrealisme merefleksikan suatu kejenuhan dalam dunia yang miskin kreativitas karena dikekang oleh konvensi-konvensi estetika, norma-norma artistik, dan ideologi dari institusi pengendali kesenian.
Estetika lain dari ciri khas utama Surrealisme adalah pelukisan (image). Surealisme menantang penulis untuk melukiskan gambaran-gambaran provokatif; memancing pembaca untuk melihat dan merasakan apa yang penulis lihat dan rasakan (Aspley, 2010: 19). Tidak mengherankan jika para surrealis selalu menawarkan karya-karya yang membingungkan. Karya-karya mereka begitu nyentrik sehingga tak jarang membuat kita mengernyitkan alis.
Kusutnya dialog Wally & Andre
Di Café des Artistes, Manhattan, Wallace Shawn (Wally) dan Andre Gregory (Andre) bertemu. Pada adegan awal film ini, tampak tidak ada yang aneh. Percakapan hanya seputar temu kangen antara dua orang yang sudah cukup lama tidak bertemu. Menuju pertengahan film, setidaknya pasti kita akan bertanya-tanya, “Ngomong apaan, sih?” dan dari pertengahan film, bersiaplah menguap karena percakapan Wally dan Andre itu akan membuat kita mengantuk, bisa jadi terasa membosankan. Bagaimana tidak, kita seperti mendengarkan dongeng pengantar tidur.
Dalam film-film yang sering kita tonton, kita dapat melihat awal, tengah, dan akhir, atau awal, klimaks, dan anti-klimaks; ceritanya linear. Selain itu, tokoh-tokoh dalam film biasanya ada protagonis dan antagonis. Dialog-dialog tak pernah melenceng jauh dari cerita. Akan tetapi, dalam film My Dinner with Andre, ceritanya nampak tidak linear, fokus latar tempat hanya di dalam kafe. Tak ada tokoh protagonis dan antagonis dalam artian film seperti biasanya; anti-hero. Bukan tanpa alasan, cerita dari film ini hanya menampilkan orang-orang biasa. Atas dasar inilah saya menyimpulkan bahwa film ini merupakan karya postmodern; tiadanya plot, adegan-adegan mendebarkan dan percakapan membingungkan dalam film ini merupakan anti-konvensi dari estetika perfilman modern.
Selain itu, di dalam film ini, ada karakteristik postmodern yang kentara terlihat, ialah linguistic turn. Istilah linguistic turn merupakan konsep yang menyatakan bahwa bahasa beroperasi lewat metafora, metonimi, dan antromorfisme. Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi seperti yang sering dikatakan oleh kaum libertarian, pun bahasa bukanlah sekadar label untuk menandai suatu kondisi atau situasi seperti yang dipaparkan pemikiran Russelian. Bahasa tidak selebar daun kelor! Singkatnya, setiap kata yang kita ucapkan akan bergantung pada kata-kata lainnya untuk menciptakan makna, permainan bahasa yang tiada habisnya. Misal, kita ingin mengetahui makna suatu kata di dalam kamus, lalu yang terjadi justru makna dari kata itu sendiri adalah kata. Itu artinya, kita tidak pernah mendapatkan signified, yang ada justru hanyalah signifier yang tergelincir di dalam jejaring signifier lainnya. Lalu, pertanyaannya, apakah bahasa bisa menghantarkan dengan tepat atas apa yang kita inginkan? Tidak, jawab postmodernisme. Kita bisa menelaah itu dalam bait puisi Khalil Gibran, “Kata-kata terlalu miskin untuk mengungkapkan apa yang kurasakan” Nah, itulah yang dimaksud dengan linguistic turn. Di dalam film My Dinner with Andre, kita bisa melihat konsep linguistic turn di beberapa scene akhir. Di situ Andre sering mengatakan “I mean”. Misal, dia selalu berkata, “I mean, blab bla blab bla. I mean, blab bla blab bla. I mean, blab bla blab bla.” Tentu, “I mean” di situ mengindikasikan bahwa bahasa tidak pernah tepat menggambarkan apa yang dia rasakan.
Wally dan Andre adalah dua tokoh pusat dalam film ini. Mereka boleh disebut sebagai dua orang yang bertemu di sebuah kafe, lalu terlibat percakapan satu sama lainnya. Mirip seperti kita yang bertemu dengan kerabat yang sudah cukup lama tidak bersua. Saat menonton film ini, kita boleh saja berkata, “Ngomong apaan, sih? Nggak jelas banget.” Namun kita mesti ingat, film ini seperti menganalogikan keseharian kita. Apa yang kita katakan pun sama tak jelasnya ketika ngobrol-ngobrol dengan teman ataupun orang-orang terdekat. Orang Sunda sering mengatakan, “Ngobrol mah moal aya tungtungna.” Hal ini mengingatkan saya pada cerpen Raymond Carver William berjudul What We Talk About When We Talk About Love, di mana para tokohnya memperbicangkan cinta dalam keadaan mabuk!
Menurut saya, percakapan Wally dan Andre dalam film ini bukan hanya sekadar percakapan yang mengalir tanpa ujung. Sepintas memang percakapan di antara mereka seperti ngelantur, tidak saling terkait, tak jelas apa sebenarnya yang hendak disampaikan, akan tetapi, setelah saya perhatikan dengan seksama, percakapan Wally dan Andre itu seperti puzzle. Begini, pada awalnya Andre membicarakan topik A, dan tiba-tiba berhenti membicarakan topik A dengan melompat ke topik C, lalu dia pun tiba-tiba lagi berhenti membicarakan topik C dengan melompat ke topik E. Kita akan dibuat bingung sebab lompatan topik seperti itu ditandai oleh penanda titik tiga (…), tentu, penanda tersebut menandakan sebuah ujaran yang nanggung, kalimat yang tidak tuntas. Menariknya, Wally, yang ngelantur membicarakan topik E, tiba-tiba melompat membicarakan topik B, yang entah bagaimana, topik B itu bersangkut paut dengan topik A sebelumnya.
Membingungkan, bukan? Jika Anda adalah orang yang suka menuntut kejelasan, saya sarankan untuk tidak menonton film ini. Film ini secara gamblang menawarkan ketidakjelasan. Film ini tidak mengundang kita untuk menonton, tetapi mengajak kita untuk merasakan dan membayangkan. Ya, ini adalah ciri khas dari surealisme. Di dalam percakapan Andre dan Wally, kita akan disuguhi imaji-imaji tentang sesuatu, dan juga kita akan dijejali oleh nama-nama tokoh yang bisa dipertanyakan kebenarannya. Biarpun dalam suatu adegan dimana Andre menyebutkan tokoh-tokoh yang ada di dunia nyata seperti Antoine de Saint-Exupery dan Andre Breton, tapi tokoh-tokoh tersebut melebur dengan pengalaman Andre yang membingungkan. Dengan kata lain, tokoh-tokoh tersebut sebenarnya adalah tokoh-tokoh yang berada di luar realitas sebenarnya, mereka adalah tokoh-tokoh imajinatif. Di sinilah menariknya film ini; cerita dari film My Dinner with Andre sepintas terlihat sederhana, tapi jika dilihat secara dekat, ada kompleksitas di dalam ceritanya.
Selamat berpusing ria!
Referensi
Connor, Stevens (ed). 2004. The Cambridge Companion to Postmodernism. New York: Cambridge University Press
Lyotard, Jean-François. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (terj. Oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi). USA: Manchester University Press
William, James. 2005. Understanding Poststructuralism. Chesham: Acumen