Suasana lebaran. Salah satu tradisi penting saat lebaran adalah maaf-maafan. Forgiveness, yang saya terjemahkan sebagai pemaafan, ditebarkan orang-orang di saat lebaran. Pemaafan terlihat sebagai sesuatu yang mudah. Bagaimanapun, bagi Jacques Derrida, pemaafan adalah suatu hal yang rumit dan pelik. Dia tidak melihatnya sebagai hal yang taken for granted.
Lihat saja, misalnya, orang-orang dan kita sendiri, mengucapkan ujaran pemaafan dengan berbagai kalimat manis dan menyentuh atau to the point. Tidak ada yang aneh, sepintas. Akan tetapi, Derrida membikin pemaafan menjadi suatu hal yang kompleks, kalau bukan radikal.
Saya pikir, Derrida melihat pemaafan sebagai seni yang sangat ekstrem. Dalam pandangan pemikir asal Prancis ini, secara definisi, pemaafan adalah tindak melaksanakan kemustahilan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mempraktikkan pemaafan Derridean. Pencetus “dekonstruksi” ini menyeret kita hingga terjebak di antara dua tegangan yang mungkin (possible) dan yang mustahil (impossible).
Dalam pemikiran Derrida, pemaafan mempunyai status ontologis yang sangat menggoda renungan maupun lamunan. Terlepas dari itu, dia membuat pemaafan menjadi hal yang sangat menyenangkan, kalau bukan mengusik. Maka dari itu, dalam upaya memeriahkan Hari Maaf-maafan, saya tidak akan mengayun cangkul pikiran untuk mendapatkan quotes manis maaf-maafan. Di sini saya hadirkan terjemahan yang sangat cacat, namun tetap dengan sebisa mungkin bisa dibaca, yang setidaknya oleh saya sendiri.
Terjemahan ini menghadirkan wawancara seorang dosen senior Filsafat di Universitas Open, yakni Nigel Waburton, dengan seorang penulis, jurnalis, broadcaster, yakni Robert Rowland Smith. Robert Rowland Smith adalah salah seorang spesialis Derrida. Dia menulis buku berjudul Derrida and Autobiography, dan yang terpenting dia merupakan salah satu kerabat Derrida sendiri.
Adapun wawancara ini merupakan rangkaian acara podcast Nigel Waburton dan David Edmonds tentang filsafat yang dibukukan ke dalam kumpulan wawancara berjudul Philosophy Bites Back. Buku ini memuat wawancara Nigel Waburton dengan para pemerhati filsafat semenjak Plato hingga Descartes dan John Rawls. Philosophy Bites Back ini terbit di Oxford University Press pada 2012, yang memuat tujuh belas wawancara Nigel Waburton dan David Edmonds dengan orang-orang yang berminat besar pada filsafat serta para filsuf. Wawancara Nigel Waburton dengan Robert Rowland Smith ini dalam buku Philosophy Bites Back hadir dengan tajuk “Robert Rowland Smith on Jacques Derrida and Forgiveness”.
David Edmonds: Ada satu figur pada abad ke-20 yang mampu menggemparkan para filsuf. Beberapa filsuf Anglo-American menegaskan bahwa Derrida adalah seorang dukun (charlatan) dan mengklaim bahwa tulisan-tulisannya itu memang sengaja dibuat tidak jelas. Ada pertengkaran besar ketika Universitas Cambridge memutuskan untuk memberikan Derrida penghargaan gelar doktoral. Namun, Jacques Derrida juga punya banyak pengagum dan murid. Derrida lahir dalam keluarga Yahudi Algeria. Dia pindah ke Prancis pada 1949 ketika dia berusia 19 tahun. Beberapa dekade berikutnya, dia mulai mengembangkan pendekatan baru terhadap filsafat, yakni “Dekonstruksi”. Karyanya yang sangat terkenal Of Grammatology terbit pada 1967. Pada kesempatan kali ini, seorang spesialis Derrida, Robert Rowland Smith, mendiskusikan suatu tema lain dari karya Derrida, yakni “Tentang Kosmopolitanisme dan Pemaafan” (“On Cosmopolitanism and Forgiveness”).
Nigel Waburton: Topik yang akan kita bicarakan sekarang adalah tentang Derrida dan pemaafan. Bisakah Anda sedikit mengenalkan siapa itu Derrida?
Robert Rowland Smith: Jacques Derrida merupakan seorang filsuf asal Prancis. Dia lahir di Algeria pada 1930 dan meninggal pada permulaan abad ke-21. Dia datang ke Paris sebagai seorang anak muda berusia 19 tahun. Di Paris dia belajar di École Normale Supérieure. Pendidikannya berakhir di posisi dalam École des Hautes Études en Sciences Sociales.
NW: Dia sangat dikenal dengan “dekonstruksi” yang dia cetuskan.
RRS: Benar. Itu adalah suatu kata yang dia warisi sebagian dari Heidegger. Namun, saya perlu mengklarifikasi apa yang Derrida maksud dengan dekonstruksi. Ada suatu mitos tentang Derrida bahwa dekonstruksi adalah suatu bentuk nihilisme abad terkini, yang menyebut bahwa tidak ada makna di dunia ini, bahwa semuanya adalah tentang teks dan bahasa. Itu merupakan karikatur aneh atas karya-karya Derrida. Saya akan gambarkan bahwa versi dari karyanya—versi yang diadopsi di Amerika Serikat ke dalam kritik sastra—merupakan dekonstruksivisme. Di sisi lainnya, apa yang kita sebut sebagai “dekonstruksi”, saya akan sematkan banyak hal, termasuk sebagai karya bahasa, dan juga karya tentang pemaafan dan topik lainnya.
NW: Jadi, apa yang Derrida pikirkan tentang pemaafan?
RRS: Poin pertamanya berangkat dari pengamatan bahwa retorika pemaafan jadi semakin ganjil sekarang ketika para politisi merengek meminta maaf atas berbagai aksi kejahatan yang telah mereka lakukan, baik karena ulah sendiri atau karena dorongan dari luar. Jadi, Derrida berangkat dari hal yang politis. Dan apa yang ingin dia capai adalah gagasan bahwa pemaafan tidak semudah seperti yang kita kira. Dalam arti tertentu, pemaafan adalah tindakan kemustahilan. Tentu saja, ini aneh. Jika Anda mencuri uang dari saya, Nigel, saya mungkin akan memaafkan Anda tergantung pada berapa banyak uang yang telah Anda curi dan seberapa cepat Anda segera mengembalikannya. Jadi, memaafkan Anda bukanlah hal mustahil bagi saya. Bahkan, itu bisa saya lakukan setiap hari.
NW: Mantap. Jadi, tidak ada yang paradoks dalam pemaafan, bukan? Itu seperti seseorang yang mengakui bahwa mereka salah dan berkata, “Saya tidak akan mengulanginya lagi.”
RRS: Ya, benar. Sepintas, tampaknya mudah. Namun, apa yang Derrida katakan adalah bahwa jika saya bisa memaafkan Anda karena telah mencuri, katakanlah, korek api milik saya, tentu saja mudah bagi saya untuk memaafkan Anda. Anda itu memang sudah bisa dimaafkan (forgiveable). Tapi, Derrida melihat kejanggalan dalam semua ini. Jika memaafkan Anda itu mungkin (possible), itu artinya Anda itu memang sudah bisa dimaafkan. Jadi, untuk apa saya perlu memaafkan Anda? Kenapa saya harus terlibat dalam tindakan memaafkan?
NW: Tapi banyak hal yang bisa dimakan meski belum dimakan. Jadi, tidakkah itu masuk akal jika mengatakan bahwa sesuatu itu memang sudah bisa dimaafkan kecuali belum dimaafkan? Saya tidak mengerti kenapa hanya karena sesuatu itu memang sudah bisa dimaafkan, memaafkan jadi tidak ada gunanya.
RRS: Derrida tidak sedang membicarakan seluruh kondisinya. Namun, dia tertarik pada kondisi yang terjadi ketika kita memaafkan atau tidak memaafkan. Yang dia katakan, bagi kita untuk memaafkan seseorang, pastinya mungkin bagi mereka untuk dimaafkan. Namun, jika mungkin bagi mereka untuk dimaafkan, lantas kenapa kita perlu memaafkannya? Sebab, secara de facto, apa yang sedang atau sudah mereka lakukan itu memang sudah bisa dimaafkan. Jadi, tidak ada nilai hakiki yang melekat dari pemaafan yang saya berikan kepada Anda. Dan ini membawa Derrida untuk menangkap sisi alternatif dari persamaan (equation). Baginya, yang tidak-bisa-dimaafkan (unforgivable) itulah sebenarnya yang mesti dimaafkan. Contohnya, kejahatan perang, genosida etnik, pembantaian ras, pemerkosaan brutal, penelantaran kemiskinan dan kelaparan, pembunuhan anak-anak adalah tindakan yang semestinya mengaktifkan kewajiban moral, bahkan kewajiban politis, untuk melakukan sesuatu terhadapnya. Namun, tentunya, jika kewajiban moral itu diaktifkan, kita tak mampu melakukan apapun terhadapnya, sebab untuk memaafkan yang tidak-bisa-dimaafkan adalah pada dasarnya suatu kemustahilan. Pada titik ini kita terjebak dalam ikatan ganda, yakni antara pemaafan dan mustahilnya pemaafan.
NW: Menurut saya, ada tingkatan-tingkatan terkait kesulitan dalam memaafkan. Jika saya mencuri beberapa perak dari Anda, Anda akan memaafkan saya. Jika saya mencuri 50.000 euro dari Anda, Anda mungkin lebih sulit memaafkan saya. Jika saya membunuh keluarga Anda, itu lebih sulit lagi bagi Anda untuk memaafkan saya. Jika saya membantai habis satu ras, itu bahkan lebih sulit lagi untuk memaafkan. Pada prinsipnya, tindakan-tindakan saya itu memang sudah bisa-dimaafkan; tindakan-tindakan saya itu tidak tidak-bisa-dimaafkan.
RRS: Tantangan bagus. Salah satu filsuf yang Derrida baca dan dia sebut dalam karyanya adalah seorang bernama Jankélévitch. Dia mengatakan bahwa pemaafan sudah tiada seiring dengan tragedi Auschwitz. Adalah mustahil, yang secara esensial, berada dalam posisi kemampuan-memberi-maaf (forgivability) setelah peristiwa Holocaust. Jadi, ada suatu tingkatan kebenaran dalam apa yang Anda katakan tadi.
Derrida membandingkan dua hal berikut: Pada dasarnya, dua hal bergerak bersamaan ketika Anda memaafkan entah itu sesuatu yang sepele atau sesuatu yang serius. Di satu sisi, adalah mustahil untuk memaafkan Anda dan saya sungguh memaafkan Anda apakah Anda telah mencuri uang dari saya atau melakukan sesuatu yang lebih buruk. Namun, di saat yang sama, tindakan pemaafan saya itu pasti dibayang-bayangi oleh ketidakmampuan-memberi-maaf (unforgivability) yang tak bersyarat. Agaknya, ia merongrong nilai pemaafan yang sedang saya tunjukkan di depan Anda. Anda seakan-akan harus membangkitkan dan menjatuhkan dua spektrum A dan Z secara bersamaan. Jadi, saya memaafkan Anda dan mungkin untuk melakukannya, namun ia selalu dengan pandangan menatap lanskap horizon lainnya, ketidakmampuan-memberi-maaf.
NW: Dalam etika Kristiani, jika saya telah memahaminya secara benar, hampir segalanya itu memang sudah bisa-dimaafkan. Jadi, apa artinya ini jika kita bisa menemui kesulitan memaafkan di sini?
RRS: Derrida membicarakan tentang hubungannya dengan pemaafan Kristiani. Dia mengatakan bahwa pemaafan yang Anda berikan itu bergerak ke arah syarat atau tujuan. Ketika Anda memaafkan seseorang, Anda secara tidak langsung sedang menempatkan suatu kondisi bagi mereka. Kondisi demikian seperti, “Saya akan memaafkan Anda kalau Anda bertaubat atau berubah atau tidak akan lagi melakukannya,” Dengan demikian, kecenderungan dalam pemikiran Kristiani adalah melekatkan kondisi-kondisi pada pemaafan, secara tidak langsung. Dan sejujurnya, memang begitu adanya. Jadi, ketika Anda memaafkan, Anda hanya akan memaafkan seseorang jika dia berubah atau tidak akan lagi melakukannya esok, atau lusa, dan seterusnya. Padahal, bagi Derrida, jika pemaafan adalah tentang memaafkan yang tidak-bisa-dimaafkan, maka itu tidak melekatkan kondisi-kondisi atau syarat-syarat seperti demikian. Prinsipnya, “Saya memaafkan Anda bahkan jika Anda kembali melakukan tindakan buruk ini nanti, dan akan melakukannya lagi, dan lagi di masa mendatang,”
NW: Saya pikir itu keliru. Banyak orang mengatakan bahwa mereka telah memaafkan mereka yang sudah meninggal. Saya memaafkan ayah saya yang telah berbuat hal yang buruk kepada saya. Namun, dia sudah meninggal sekarang. Ayah saya tentu tidak akan berubah.
RRS: Ayah Anda memang tidak akan berubah, namun apa yang telah Anda lakukan adalah secara internal mengubah gambaran ayah Anda pada gambaran seseorang yang sekarang bisa-dimaafkan. Jadi, Anda telah melakukan transformasi terhadap ayah Anda guna ayah Anda itu bisa-dimaafkan dalam pikiran Anda. Maka, Anda mampu mampu me-manage prinsip kristenisasi—sengaja saya gunakan istilah itu dengan huruf “k” kecil—terhadap ayah Anda agar bisa relevan bagi.
NW: Mari kita buat paradoks Derrida ini jelas. Derrida sedang mengatakan bahwa jika Anda memaafkan sesuatu yang secara intrinsik memang sudah bisa-dimaafkan, itu bukan tindakan hebat. Tindakan hebat adalah ketika Anda memaafkan apa yang secara definisi tidak-bisa-dimaafkan, namun itu mustahil. Maka, satu-satunya tindakan memaafkan yang bernilai adalah memaafkan yang tidak bisa Anda maafkan.
RRS: Benar. Derrida mempunyai poin filosofis dalam pemikiran ini. Poin praktisnya adalah bahwa pemaafan dan ketidakmampuan-memberi-maaf bergerak seiringan. Poin filosofisnya adalah bahwa pemaafan menghadapi dua kondisi kontradiktif pada saat yang sama. Di satu sisi, bahwa tindakan itu tidak-bisa-dimaafkan, namun di sisi lainnya bahwa ia harus dimaafkan secara total.
NW: Agaknya, tindakan-tindakan luar biasa dari pemaafan menjadi lebih kurang bernilai. Ketika Anda membaca Derrida, Anda pasti mengatakan, “Saya sudah dimaafkan, namun itu mudah bagi si pemberi maaf,”
RRS: Tantangan bagus lagi. Saya pikir, ada dua respons. Pertama, Derrida ingin mengangkat kesadaran Anda. Ketika Anda memaafkan seseorang, menyelamlah lebih jauh ke dalam diri Anda sendiri, apakah itu tindakan sulit atau mudah. Jika itu mudah, maka itu artinya Anda akan mencari semacam hal yang emosional atau yang politis darinya.
Poin kedua, bahkan contoh pemaafan sepele—semisal Anda menumpahkan gelas hingga mengenai saya dan saya memaafkan Anda—namun pemaafan selalu membangkitkan beberapa perasaan subtil atau minimal di mana horizon lebih besar dari ketidakmampuan-memberi-maaf pada saat yang bersamaan. Pemaafan, fitrah putihnya, harus terjadi sekalipun yang tidak-bisa-dimaafkan terjadi pada saat yang bersamaan.
NW: Derrida adalah momok bagi para filsuf Anglo-American, khususnya dalam tradisi analitik. Mereka sangat jengkel kepadanya, bahkan pernah menjegalnya mendapatkan penghargaan status di Cambridge, kemudian menulis hal-hal yang kejam kepadanya. Apa yang membuat Derrida begitu menggemparkan?
RRS: Pertanyaan bagus. Dia bukanlah tokoh terkenal dalam tradisi tersebut. Kebetulan, dia diberi penghargaan oleh Cambridge hingga memicu polemik (pada 1992, namun penghargaan dalam Sastra, bukan dalam Filsafat).
Permusuhan? Menurut saya, itu bukanlah keisengannya, namun dia benar-benar mencoba dan menginjak-injak permadani di bawah kaki tradisi filsafat dengan cara menelanjangi apa yang dia lihat sebagai rangkaian prasangka. Misalnya, ada prasangka yang menyebut bahwa akal sebagai sesuatu yang secara intrinsik tidak mempunyai pertentangan. Kenapa itu jadi masalah? Jadi, perhatian utamanya adalah memikirkan sejarah akal seperti demikian, dan menunjukkan bahwa sebagaimana sejarah lainnya, akal adalah persoalan penyusupan, preferensi personal, politis, dst. Jadi, akal pun bukanlah hal yang “bebas nilai”, akal bukanlah rasionalitas netral. Dan dia membicarakan tentang rasionalitas yang berbeda, rasionalitas psikoanalitik, contohnya, pun rasionalitas logis. Saya pikir, proyek filsafatnya adalah lebih menaruh hal-hal ke dalam perspektif ketimbang merusak hal-hal per se.
NW: Cara Anda menggambarkan Derrida, dia terdengar sangat terpengaruh tradisi Socratik. Tradisi Socrates yang merongrong dan menggangu, membuat orang-orang jengkel dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin mereka dengar, atau tak bisa mereka jawab…
RRS: Derrida senang dengan analogi. Dalam salah satu bukunya, Tentang Socrates dan Freud, Derrida berbicara tentang pergerakan dari belakang, memberikan kejutan kepada orang-orang ketika mereka tak mengharapkannya. Jadi, Anda menggambarkan analogi yang bagus. Derrida itu Socratik dalam pengertian tersebut. Perbedaan utamanya adalah bahwa nilai yang dia angkat bukanlah nilai-nilai Socratik yang dibutuhkan.
NW: Anda mengenal Derrida secara personal. Apakah dia berada dalam posisi yang terpengaruh oleh oposisi yang dia hadapi dari para filsuf Anglo-American?
RRS: Ya. Namun, ada kesamaan dan pertentangan kuat dalam permainan. Bagi setiap filsuf analitik yang memusuhi dari Amerika Serikat atau wilayah timur, setidaknya ada satu penggemar dari suatu tempat di daratan Eropa.
NW: Banyak dari tulisan Derrida yang secara ekstrem sulit dipahami dan, setidaknya bagi orang-orang luar, kering. Apa dia juga seperti itu dalam sehari-harinya?
RRS: Pertama-tama, ada jarak yang terbentang dari tulisan-tulisan Derrida, beberapa di antaranya sangat menarik dan menggairahkan. Saya tidak tahu berapa banyak jilid jika tulisan-tulisannya dikumpulkan. Tentu saja ada spektrum yang besar pula, dari tulisan yang sangat sulit dibaca hingga yang transparan. Dia sebagai orang sehari-hari? Sangat menarik, pria yang penuh kasih sayang, jenaka. Saya ingat menjemputnya dari Bandara Heathrow, ketika dia datang untuk menyampaikan Kuliah di Amnesty Oxford tentang hak asasi manusia. Sebagai orang Prancis, dia mencoba masuk ke posisi mengemudi, saya mencoba menggesernya ke sisi lain dan dia berkata, “Tipikal, saya sangat tertarik dengan hak”—sebuah pernyataan spontan dalam bahasa Inggris, dan sangat cerdas.
NW: Jadi, menurut Anda, apakah dia memaafkan para filsuf Anglo-American?
RRS: Saya pikir, mustahil.