Wabi-Sabi: Mengecap Hidup seperti Stroberi Terakhir
Saya akan membuka tulisan ini dengan cerita tentang seorang lelaki yang terjebak dalam kondisi sulit.
Suatu hari, seorang lelaki pergi ke hutan, katakanlah, untuk mencari persediaan makanan. Singkat cerita, ia menemui nasib sial, yakni tak sengaja menemui seekor harimau yang sedang kelaparan. Sontak lelaki itu berlari. Harimau itu pun mengejarnya. Sialnya, pelarian lelaki itu justru menemui jalan buntu. Jurang tinggi yang tak mungkin ia lalui. Puncak kesialan lainnya adalah dari arah lain ada harimau lain yang siap menyergap. Total, dua ekor harimau menjebak lelaki itu dari segala arah.
Lelaki itu hanya bisa mundur, kian tersudut hingga ke tepi jurang. Sementara itu, dua ekor harimau mendekat perlahan siap mencengkeram. Mungkin Anda akan mengira bahwa pilihannya cuma dua: mati dimakan harimau atau tewas melompat ke jurang. Sayangnya, selalu ada pilihan lain. Sejarah mencatat bahwa selalu banyak sekali pilihan dalam kehidupan. Dikisahkan selanjutnya, lelaki itu memang memilih meloncat. Akan tetapi, ia ternyata mendapati sebuah pohon yang sedang bertumbuh di lereng curam. Ia pun mampu meraihnya setelah meloncat.
Sayangnya, salah satu dari dua ekor harimau itu pun ikut meloncat seakan tak rela melepaskan camilan kecilnya itu hilang begitu saja. Namun, harimau itu gagal mendarat dengan tepat, hanya menggelantung mencengkeram tangkai pohon yang sedang bertumbuh di lereng curam itu. Karena hentakan lompatan harimau itu, pohon tersebut perlahan-lahan mulai patah. Dan terjadilah! Pohon itu ambruk. Harimau itu pun jatuh ke jurang. Kini giliran si lelaki itu yang menggelantung di dahan yang tinggal menunggu waktu untuk menyusul ke jurang.
Akan tetapi, di dahan itu, ia melihat sebuah stroberi merah matang di dekat lengannya. Dengan hati-hati ia meraih stroberi tersebut dan kemudian memakannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan bahwa stroberi itu akan menjadi hal terakhir yang ia makan—sungguh betapa manis stroberi itu.
Cerita di atas saya maksudkan untuk mendefinisikan apa itu wabi-sabi (侘寂): rasa legit stroberi terakhir. Dengan kata lain, wabi-sabi merupakan ekspresi keindahan yang terletak dalam peralihan singkat dari yang sedang terjadi menuju yang akan terjadi dalam kehidupan (the coming and going of life); khususnya, transisi cepat dari sukacita (joy) menuju melankolia dan sebaliknya yang menjadi ciri khas kita sebagai manusia.
Rasa dan Kesadaran
Andrew Juniper dalam bukunya berjudul Wabi Sabi: The Japanese Art of Impermanence (2003: 1-2) mendefinisikan wabi-sabi sebagai pandangan kosmik nihilis Zen yang bermaksud menjaring keelokan (beauty) dalam ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan dalam segala hal; dalam hukum perubahan alam, yang pada dasarnya tiada, kemudian mengada, dan akan kembali menjadi tiada. Dalam gerak perubahan abadi ini alam memberi kita jalan arbitrer untuk melakukan perenungan. Dengan demikian, ajaran yang hendak ditawarkannya adalah usaha merengkuh sikap sederhana dan paripurna dalam menghadapi gerak acak dan ketidakteraturan kehidupan, apa-apa yang tak tertebak.
Sementara itu, Erin Niimi Longhurst dalam bukunya berjudul A Little Book of Japanese Contentments: Ikigai, Forest Bathing, Wabi-Sabi, and More memberikan pandangan yang lebih kaya perihal wabi-sabi. Sebagai salah satu pandangan hidup orang-orang Jepang, wabi-sabi merupakan salah satu bagian dari kokoro (心). Dalam alih bahasa ke dalam bahasa Inggris, kokoro sepadan dengan heart. Bahasa Indonesia menerjemahkan heart sebagai hati. Namun, secara semantis, ada tiga kata yang menggambarkan hati dalam bahasa Jepang. Yang pertama adalah shinzou. Ketika orang Jepang mengatakan bahwa shinzou mereka sakit, maka Anda harus segera membantu mereka pergi ke rumah sakit. Shinzou sebagai hati merujuk pada organ tubuh yang membuat kita hingga sekarang masih bernapas. Yang kedua adalah ha-to. Kata tersebut mempunyai arti sebagai bentuk cinta atau rasa. Ha-to sebagai hati itu semacam cincin yang Anda hadiahkan untuk pasangan Anda atau cokelat dan bunga yang Anda persembahkan untuk sang kekasih pada saat Hari Valentine, misal. Yang ketiga, tingkatan terakhir dari hati, adalah kokoro.
Sebagai hati, kokoro merujuk pada hal yang paling halus dan sublim. Ia tak hanya mencakup hati saja, namun juga pengalaman batin, gerak pikiran, dan arus rasa yang ada dalam diri seseorang. Agaknya Indonesia memiliki padanan kata yang cukup memadai untuk kata kokoro ini, yakni rasa atau kesadaran: suatu mentalitas atau perasaan yang melukiskan emosi dan hasrat yang ada dalam diri kita. Dalam arti inilah wabi-sabi merupakan salah satu dari bagian kokoro.
Menuju Wabi-Sabi
Sebenarnya sulit untuk menerjemahkan wabi-sabi ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, Erin (2018: 61) memberikan solusi untuk kita agar bisa menangkap makna wabi-sabi, yakni dengan cara yang membedakannya dengan apa yang bukan wabi-sabi. Wabi-sabi adalah:
· asimetri, dan bukan konformitas
· kesederhanaan, kerendahan hati, dan bukan arogansi, congkak, bangga diri
· berkembang, dan bukan stagnan
· pelan, dan bukan cepat
· hemat, dan bukan boros
· bermartabat, dan bukan urakan
· minimalis, dan bukan sok pamer
· ketidaksempurnaan, dan bukan kesempurnaan
· momen-momen kecil, dan bukan gestur-gestur besar
· ambiguitas, dan bukan kejelasan
Dengan demikian, wabi-sabi tentu merupakan pandangan hidup yang berbeda, kalau bukan bertentangan, dengan pandangan hidupnya orang-orang Barat: mencari yang ajeg, kebesaran, kebangaan diri, kejayaan, mengatasi, kesempurnaan, klaritas, dsb. Budaya Jepang menjadikan rasa sebagai penuntun hidup, tradisi Barat menjadikan akal murni sebagai garda terdepan dalam mengatasi kehidupan.
Dua weltanschauung ini pun tentunya melahirkan produk budaya yang berbeda pula. Kesusastraan, salah satunya. Dalam soneta, kita bisa melihat bagaimana pandangan konformitas masyarakat Barat. Sementara itu, dalam haiku Matsuo Basho misalnya, kita bisa menangkap gaya hidup yang asimetris masyarakat Jepang lewat perangkat puitis yang dibangun dari struktur yang menggantung.
Stroberi Terakhir
Saya tak bermaksud mengatakan bahwa Barat itu buruk dan Timurlah yang ideal. Tidak. Dua pandangan hidup yang ditawarkan filsafat Barat maupun filsafat Jepang, atau boleh kita katakan sebagai filsafat Timur, sama-sama memberikan hal penting, yakni pengayaan perspektif dalam memandang dunia dan menjalani kehidupan.
Dalam hal ini, wabi-sabi juga tak boleh menjadi pandangan hidup yang mesti rigid. Namun, saya pikir wabi-sabi ini merupakan perspektif yang memberi tenaga kuat dalam menghadapi momen situasi dan kondisi kehidupan yang pelik. Ia bisa menjadi pegangan kuat ketika kehidupan berada dalam fase yang mesti dijalani secara terlunta-lunta. Ia bisa menjadi alat yang tepat ketika kita berjalan terseok-seok usai diterjang nasib sial.
Tak ada yang sempurna. Hidup itu sendiri adalah hal yang ongoing process. Toh, kalau ada yang kekal, maka itu adalah perubahan. Maka dari itu, tak ada kegalauan dan keriangan yang abadi menetap. Derita dan bahagia tak mungkin terelakkan dalam kehidupan. Perubahan merupakan kabar baik bagi mereka yang hari ini bersedih dan merupakan kabar buruk bagi mereka yang hari ini bergembira. Everything is always changed. Akan tetapi, dalam hukum alam perubahan sukacita dan melankolia itu bersemayam sesuatu yang subtil dan intim, yakni keindahan dari gerak transisi dari hitam ke putih atau sebaliknya.
Seperti kisah lelaki uzur di awal, kita juga seperti itu. Kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan satu atau dua jam dari sekarang. Mungkin kita juga akan menemui binatang-binatang buas dalam kehidupan. Kita pun berlari terseok-seok hingga menemui jalan buntu berupa ngarai terjal. Kita lantas meloncat dan menggapai pohon retak yang lekas patah. Namun, dalam transisi skenario kecamuk dan kecam itu kita menemukan buah stroberi merah manis tumbuh di tangkai. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain mengecap dengan penuh kesadaran dan pengetahuan bahwa stroberi itu akan menjadi stroberi terakhir yang akan kita rasakan.
Referensi:
Juniper, Andrew. 2003. Wabi Sabi: The Japanese Art of Impermanence. Tokyo: Tuttle Publishing
Niimi Longhurst, Erin. 2018. A Little Book of Japanese Contentments: Ikigai, Forest Bathing, Wabi-Sabi, and More. California: Chronicle Books LLC